Usaha Orang Nusantara Menggapai Kesaktian Mekkah

Kamis, 31 Agustus 2017 - Yudi Anugrah Nugroho

KEINGINAN besar orang-orang Nusantara menjalankan ibadah haji di tanah suci justru melahirkan pandangan baru mengani Mekkah sebagai pusat spiritual alam.

Meraka mencoba menunjukan simbol-simbol mengenai Mekkah untuk penegasan kesaktian. Bukan sebuah kebetulan bila Mekkah lebih khusus Masjidil Haram tampil dalam legenda-legenda Nusantara, terutama Jawa.

Pada teks Jawa bersajak, Babad Jaka Tingkir (1829), terdapat penggambaran enam tokoh pada masa perkembangan agama Islam abad ke-16 di Jawa, termasuk Sunan Kalijaga, ketika membanguna masjid Demak berusaha mengarahkan masjid sejajar Mekkah, namun masjid baru tersebut enggan disejajarkan.

Maka Sunan Kalijaga, pada babad tersebut suntingan Nancy K Florida Writing The Past, Inscribing The Future, kemudian merentangkan kedua tangan, memegang masjid Demak dan Masjidil Haram, serta mensejajarkan keduanya. Dengan demikian tak ada satu pun masjid mengungguli masjid lain. Sejajar.

Sebuah versi lain mengenai persitiwa pembangunan masjid Demak juga masih berelasi dengan Mekkah. Para wali, tulis Babad Jaka Tingkir suntingan Moelyono Sastronaryatmo, tidak bersepakat berkait arah kiblat. Delapan wali berembuk dan memohon doa kepada Allah SWT agar diberi pencerahan. Mereka pun melihat Kakbah dengan terang, dan lantas mengarahkan kiblat masjid Demak ke arah Kakbah.

Sebagian wali tak setuju. Mereka mencoba kembali mengubah arah kiblat, ke kiri, ke kanan, namun tetap tidak mufakat. Jengn Sinuhun dan Ratu Tunggal kemudian kembali memohon kepada Allah SWT agar bumi diperkecil. Maka Mekkah baru tampak jelas “seakan-akan di ujung hidung”.

Sunan Kalijaga lantas meletakan satu kaki dekat tembok Mekkah, sementar kaki satunya dekat masjid Demak, seraya merentangkan kedua tangan; kanan di atas Kakbah, dan kiri di atas masjid Demak, dan merapatkan keduanya supaya arah kiblat sempurna.

Legenda tersebut memang mengandung ketaksaan. Di antara keajaiban tersebut, beberapa tokoh biasa pergi ke Mekkah setiap hari jumat untuk melaksankan ibadah shalat Jumat berjmaah, “perjalanan ditiadakan, jarak dinafikan. Kakbah tidak dipindahkan ke Kepulauan Nusantara, tetapi dapat dicapai semaunya,” tulis Henry Chambert Loir, Naik Haji di Masa Silam; Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964.

Sultan Agung, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Seh Siti Jenar, menurut Rinkes, Nine Saints of Java, dikihsakan biasa malakukan perjalanan singkat untuk ibadah shalat berjamaah di Mekkah. Sementara Syekh Yusuf Makassar biasa mondar-mandir Tanah Suci-Jawa, dan sewaktu tinggal di Mekkah, dia berjalan kaki ke Banten antara Lohor dan Ashar, jika tinggal di Banten, dia akan ke Mekkah setiap hari jumat.

Begitu pula Syekh Abdulmuhyi, murid Abdurrauf al-Sinkili tersebut pergi ke Mekkah pada hari jumat melalui sebuah terowongan menghubungkan Goa Panyalahan di Jawa Barat dengan sumur Zamzam di Mekkah. Dia berangkat bertolak Panyalahan pukul 6 pagi dan tiba di Mekkah pukul 12 siang, saat shalat lohor. Di tempat kediaman Abdulmuhyi bahkan terdapat remebesa air dari gua disebut Cai Zamzam atau air Zamzam, dan diminum para peziarah.

Dalam legenda-legenda atau cerita taksa tentang tokoh-tokoh mampu mesejajarkan bahkan secepat kilat mencapai Mekkah, menurut Chambert Loir, di permukaan kecenderungan menggambarkan tokoh lokal sebaai orang sakti menguasai alam, termasuk pusat alam, kota Mekkah. “Tetapi yang mendasari berbagai legenda itu adalah pengakuan akan kedudukan Mekkah sebagai pusat,” tulis Chambert Loir. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan