Ungkapan Kesedihan Jenderal Nasution Saat Pemakaman Para Jenderal Korban G30S
Senin, 30 September 2019 -
EMPAT truk militer bercat hijau menambat di rumah jalan Teuku Umar nomor 40, dini hari, 1 Oktober 1965. Pasukan Pasoepati, termasuk Cakrabirawa, pimpinan Pelda Djahurub, segera memasuki rumah dengan penjagaan tentara. Sersan Iskaq, kepala jaga malam rumah itu, tak curiga karena mereka mengenakan seragam lengkap. Tujuan kedatangan pasukan itu untuk menjemput sang empunya rumah, Jenderal Abdul Haris Nasution.
Pasukan dan petugas jaga bersitegang. Mereka tergesa-gesa meminta agar Jenderal Nasution segera keluar dan ikut bersamanya. Namun, petugas jaga meminta agar mereka menunggu. Keadaan memanas.
Sementara, di dalam kamar, Nyonya Yohana terbangun dari tidur lantaran banyaknya nyamuk. Ia mengibas-ngibas tangan agar nyamuk pergi. Dalam keadaan setengah sadar, Istri Jenderal Nasution itu mendengar suara keributan orang, dan langsung beranjak ketika suara tembakan meletus. Yohana berinisiatif melihat keadaan di luar kamar. Dari balik pintu, ia melihat pasukan Cakrabirawa bersenjata lengkap, kembali menutup pintu, lalu memberitahu Nasution.
Jenderal Nasution tak sempat keluar kamar karena tembakan telah terlebih dahulu menghampiri pintu kamarnya. Ia keluar melalui pintu lain, menyusuri koridor menuju pintu samping rumah, mengarah ke halaman belakang. Pasukan mengejar dan menembakinya. Ia lantas berhasil lolos setelah memanjat tembok belakang, berjalan terpincang-pincang lantaran patah di pergelangan kaki, kemudian bersembunyi di halaman rumah kedutaan besar Irak.

Pak Nas, sapaan Jenderal Nasution, dalam autobiografinya berjudul Peristiwa 1 Oktober 1965: Kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution, bertahan sembunyi hingga pukul 06.00 WIB kemudian setelah keadaan kondusif lalu diantar ajudannya menuju Departemen Pertahanan dan Keamanan. Setiba di sana. ia langsung mengabari Kepala Kostrad Mayjen Soeharto mengenai kondisinya.
Nasution berhasil lolos dari penculikan dan pembunuhan gerakan G30S, namun putrinya, Ade Irma Suryani tewas, sementara ajudannya, Lettu Czi Piere Tendean dibawa ke lubang buaya bersama keenam jenderal aktif Angkatan Darat hingga akhirnya ditemukan tak bernyawa dalam kondisi mengenaskan di sumur Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Pada saat pemakaman para jenderal korban peristiwa G30S, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, 5 Oktober 1965, Jenderal Nasution hadir dengan mengenakan kursi roda. Di hadapan mendiang rekan sejawatnya, Nasution memberikan pidato mengharukan.
“Jendral Suprapto, Jendral Haryono, Jendral Parman, Jendral Panjaitan, Jendral Sutoyo, Letnan Tendean... Kamu semua mendahului kami, kami semua yang kamu tinggalkan punya kewajiban meneruskan perjuangan kita, meneruskan tugas angkatan bersenjata kita, meneruskan perjuangan TNI kita, meneruskan tugas yang suci. Kamu semua, tidak ada yang lebih tahu dari pada kami yang di sini, daripada saya sejak 20 tahun kita selalu bersama sama membela negara kita, perjuangan kemerdekaan kita, membela pemimpin besar kita, membela cita-cita rakyat kita,” ujarnya.
Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa dihadiri Sukarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran. “Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap sebagai skandal,” tulis Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966. (*)