Tes Masuk Perguruan Tinggi Jadi Kambing Hitam Krisis Kesuburan di Korea Selatan
Senin, 03 Juli 2023 -
PADA saat seorang anak di Korea Selatan dapat berjalan, banyak orangtua sudah mulai mencari preschool swasta elite. Hal itu dilakukan agar pada saat para balita tersebut berusia 18 tahun, mereka akan tumbuh menjadi siswa yang mampu mengikuti ujian masuk perguruan tinggi nasional. Ujian dengan durasi delapan jam itu tidak main-main.
Ujian yang dikenal sebagai sun eung tersebut merupakan tiket mendapatkan tempat untuk menjadi mahasiswa di universitas bergengsi. Untuk bisa memperebutkan kursi di universitas ternama, mereka harus menjalani proses sulit dan mahal yang merugikan baik orangtua maupun anak-anak.
BACA JUGA:
Proses itu merupakan sistem yang dituduh para peneliti, pembuat kebijakan, guru, dan orangtua atas sejumlah masalah di negara tersebut. Mulai dari ketidaksetaraan dalam pendidikan hingga penyakit mental pada anak muda, dan bahkan tingkat kesuburan negara yang anjlok.
Dengan harapan menyelesaikan beberapa masalah itu, pemerintah Korea Selatan mengambil langkah kontroversial pada pekan ini dengan membuat ujian masuk perguruan tinggi lebih mudah. "Pejabat akan menghapus apa yang disebut 'soal mematikan' dari sun eung, juga dikenal sebagai Tes Kemampuan Skolastik Perguruan Tinggi atau college scholastic ability test (CSAT)," kata Menteri Pendidikan Lee Ju-ho dalam jumpa pers, Senin (26/6).
Ju-ho mengatakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat sulit itu terkadang mencakup materi yang tidak ada dalam kurikulum sekolah umum. Kondisi tersebut memberikan keuntungan kepada siswa yang memiliki akses ke bimbingan belajar privat dan merugikan bagi mereka yang kurang mampu.
Dia menambahkan, bimbingan belajar merupakan 'pilihan pribadi' bagi orangtua dan anak-anak. Namun, banyak yang merasa terpaksa melakukannya karena persaingan yang ketat untuk berhasil dalam ujian. Pihak kementerian terkait tengah berusaha memutus lingkaran setan pendidikan swasta yang menambah beban orangtua dan kemudian mengikis ketidaksetaraan dalam pendidikan.
BACA JUGA:
Masalah yang timbul demi mencapai keunggulan
Pada saat remaja dari Korea Selatan memasuki sekolah menengah, sebagian besar hidup mereka berputar di sekitar hasil akademik dan persiapan untuk hari CSAT, ujian yang tanggal pelaksanaannya secara luas dianggap menentukan atau menghancurkan masa depan seseorang.
Kritikus telah lama berpendapat bahwa beban siswa merupakan salah satu faktor yang mendorong krisis kesehatan mental di negara tersebut. Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Pada 2022, Kementerian Kesehatan Korea Selatan memperingatkan bahwa tingkat bunuh diri meningkat di kalangan remaja dan dewasa muda berusia 20-an, sebagian karena efek pandemi yang berkepanjangan. Survei pemerintah pada 2022 menambah gambaran suram. Dari hampir 60.000 siswa sekolah menengah dan atas yang disurvei secara nasional, hampir seperempat laki-laki dan satu dari tiga perempuan dilaporkan mengalami depresi. Dalam laporan sebelumnya, hampir setengah dari pemuda Korea berusia 13 hingga 18 tahun menyebut pendidikan sebagai kekhawatiran terbesar mereka.
Pendidikan juga sangat membebani orangtua. Para ahli percaya biaya yang mengejutkan adalah faktor utama di balik keengganan warga Korea Selatan untuk memiliki anak, ditambah dengan beban lain seperti jam kerja yang panjang, upah yang stagnan, dan biaya perumahan yang sangat tinggi.
Korea Selatan secara teratur menempati peringkat tempat termahal di dunia untuk membesarkan anak sejak lahir hingga usia 18 tahun, sebagian besar karena biaya pendidikan. Banyak pasangan merasa bahwa mereka harus memfokuskan sumber daya mereka hanya pada satu anak saja.
Tahun lalu, tingkat kesuburan negara itu, yang sudah menjadi yang terendah di dunia, turun ke rekor terendah 0,78. Angka itu bahkan bahkan tidak mencapai setengah dari 2,1, angka yang dibutuhkan agar dapat memiliki populasi yang stabil. Korea Selatan bahkan jauh di bawah Jepang (1,3), yang saat ini merupakan negara paling abu-abu di dunia, yang 28 persen penghuninya di atas 65 tahun.
“Biaya mengasuh anak terhitung tinggi, menurut sebagian besar anggaran keluarga yang berpenghasilan rendah. Tanpa penghasilan tambahan, memiliki anak akan menimbulkan standar hidup yang lebih rendah, dan keluarga berpenghasilan rendah menghadapi risiko kemiskinan,” kata OECD dalam makalah pada 2018.
Pihaknya menambahkan tidak memilih untuk punya anak atau menunda melahirkan anak menjadi salah satu cara untuk menghindari kemiskinan. Pemerintah Korea Selatan yang telah lama bergulat dengan masalah ini, mengatakan pada tahun 2008 bahwa keluarga sangat terbebani oleh pengeluaran yang berlebihan dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Tanpa kebijakan baru untuk mengurangi beban ini, negara berisiko semakin memperburuk masalah angka kelahiran yang rendah di Korea Selatan.(aru)
BACA JUGA: