Sumber Mineral Kritis Dijadikan Alat Tawar di Tengah Perang Dagang
Selasa, 14 Oktober 2025 -
MerahPutih.com - Indonesia memiliki berbagai sumber mineral kritis yang dicari dunia, yakni nikel, tembaga, kobalt, bauksit, timah dan potensi litium.
Di mana, nikel, Indonesia memiliki cadangan terbesar di dunia yakni mencapai 48 persen dari total cadangan global, serta cadangan tembaga dengan total mencapai 28 juta ton yang menempatkannya di peringkat ketujuh dunia.
Selanjutnya, cadangan kobalt Indonesia diperkirakan mencapai 600 ribu ton, cadangan bauksit diperkirakan mencapai 1,2 miliar ton, serta Indonesia adalah salah satu produsen timah terbesar di dunia, dengan cadangan mencapai 2,8 juta ton atau sekitar 16 persen dari cadangan global.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menekankan penggunaan sumber daya mineral kritis yang dimiliki Indonesia sebagai cara untuk melakukan negosiasi perdagangan dengan negara lain.
Baca juga:
Perang Dagang AS-China, Menkeu: Biar Aja Mereka Berantem, Kita Untung
"Kita katakan bahwa Indonesia ini punya critical mineral. Jadi kita bisa menggunakan ini sebagai salah satu cara untuk negosiasi, karena memang critical mineral ini ada," ucap Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Bakrie ditemui dalam acara Forbes Global CEO Conference di Jakarta, Selasa (14/10).
Meski mineral kritis yang dimiliki Indonesia bisa digunakan sebagai alat bernegosiasi, ditekankan Anindya, Indonesia harus tetap melakukan proses hilirisasi agar bisa memberikan nilai tambah (value added) yang signifikan terhadap perekonomian.
Ia mencontohkan, 10 tahun lalu Indonesia masih melakukan ekspor bijih nikel yang hanya memberikan keuntungan 1 miliar dolar AS, namun kini setelah dilakukan hilirisasi produk menjadi stainless steel, keuntungan yang didapat kini mencapai 35 miliar dolar AS.
Selain itu, saat ini negara di dunia mesti mengubah format perdagangannya, sama seperti Indonesia yang tak hanya berfokus kepada satu negara saja, melainkan turut memperluas pasar ke negara yang memiliki potensi pasar yang besar.
"Indonesia memang ada kesepakatan dengan Amerika, tapi tidak berhenti di Amerika saja. Kita ke Uni Eropa dan Kanada," ucapnya.
Anindya mengatakan, Indonesia membuka ruang kolaborasi untuk membuka lapangan kerja yang selaras dengan bonus demografi yang dimiliki.
"Jadi kita mesti memikirkan bagaimana menemukan kerjaan 2,5 juta sampai 3 juta setahun. Karena kita menghasilkan bayi 5 juta setahun. Jadi kita benar-benar mau buat kolaborasi. Tapi intinya kita ingin semua itu stabil, inklusif," katanya. (*)