Ragam Hajatan Tradisi Orang Bali Menyambut Bayi
Selasa, 24 Mei 2022 -
DETIK ketika seseorang tahu dirinya akan menjadi orang tua, mereka mulai bersiap memikirkan dana ekstra. Mulai dari dana semasa kehamilan (meliputi periksa kandungan, suplemen tambahan, dan olahraga hamil), dana jelang kelahiran, hingga dana pendidikan. Semua terkesan rumit tapi tidak lebih kompleks dari para orang tua di Bali.
Sejak dalam kandungan hingga lahir, masyarakat Bali lumrah bertabur hajatan. Sudah jadi rahasia umum masyarakat Bali punya tabungan ekstra untuk berbagai hajatan tersebut.
Baca juga:Kemenparekraf Dukung Desainer Indonesia di London Design Biennale
Hajatan pertama dimulai saat bayi masih dalam kandungan atau disebut magedong-gedongan atau Garbha Wedhana.
Upacara tersebut digelar saat ibu memasuki usia kehamilan lima bulan (kalender Bali) atau tujuh bulan (kalender Masehi). Dipercaya saat memasuki usia tujuh bulan, janin dalam keadaan sempurna. Tujuan dari upacara ini untuk memelihara keselamatan bayi dalam kandungan.

Selanjutnya, ketika bayi lahir, orang tua akan membuat upacara sebagai wujud rasa syukur. Disambung, ada pula prosesi penanaman ari-ari jabang bayi.
Lantas, beberapa hari setelah lahir, tali pusar bayi lepas, orang tua mengadakan upacara kepus puser. Sekitar ranjang bayi dibuat pelangkiran untuk menaruh sesajen.
Baca juga:Kemenparekraf Lakukan Persiapan Pemulihan Pariwisata Indonesia
Ketika bayi berusia 12 hari, orang tua akan mengadakan upacara ngelepas hawon. Di momen ini dilakukan pemberian nama untuk bayi. Catur sanak atau empat saudara menemani si bayi juga turut berganti nama.
Memasuki usia 42 hari, diadakan upacacara Tutug Kambuhan. Tujuannya untuk menyucikan bayi dan kedua orang tuanya. Nama diberikan untuk sang jabang bayi pun telah diresmikan.

Memasuki usia tiga bulan, kembali diadakan hajatan untuk bayi yang dikenal dengan sebutan Upacara Nelu Bulanin. Pada momen ini, bayi menginjakkan kakinya ke tanah untuk pertama kali. Sebelumnya, sejak lahir hingga usia tiga bulan bayi tidak boleh ngenteg tanah (injak tanah).
Kala bayi sudah berusia enam bulan, orang tua mengadakan Upacara Satu Oton atau Ngotonin. Tujuan dari diadakannya upacara ini untuk menembus kesalahan terdahulu (masyarakat Hindu percaya akan konsep reinkarnasi). Pada upacara ini, bayi dipotong rambutnya untuk pertama kali.
Saat gigi bayi tumbuh, orang tua mengadakan upacara kecil-kecilan dengan maksud supaya gigi anak tumbuh dengan baik. Ada upacara tumbuh gigi ada pula upacara tanggal gigi. Menurut kepercayaan, jika ada tanggal gigi atas maka harus dikubur d tanah. Sebaliknya, jika tanggal gigi bawah maka gigi harus dilempar ke atas genting.

Upacara untuk anak tidak berhenti hingga si bayi memasuki masa kanak-kanak saja. Orang Bali juga mengadakan sejumlah upacara saat si anak mulai masuk masa pubertas dan dewasa.
Saat beranjak dewasa, dilaksanakan Upacara Raja Sewala. Untuk anak laki-laki sang anak natab banten sesayut raja singa sementara untuk anak perempuan sesayut tabuh rah bagi.
Berikutnya ada upacara mepandes atau kikir gigi yang diadakan saant anak memasuki masa pubertas. Saat upacara ini, bagian gigi taring anak akan dikikir atau diasah sehingga rata dengan gigi lainnya. Filosofi di balik ritual tersebut untuk mengikis sifat keraksasaan atau enam musuh dalam diri manusia. (Avia)
Baca juga:Kemenparekraf Ajak Musisi Berkarya dengan Inspirasi Budaya Indonesia