Ragam Gaya Busana Jago pada Revolusi Indonesia

Rabu, 17 Agustus 2022 - Raden Yusuf Nayamenggala

DESEMBER 1945, ada empat orang memegang senjata berada di tengah serdadu India, Pasukan Inggris, dan Sekutu di sekitar Bekasi, bertelanjang kaki tidak berseragam.

Keempatnya mengenakan celana pendek dengan warna berbeda,dan memakai ikat pinggang. Kemudian, dua orang berkemeja lengan pendek, sementara dua lagi mengenakan kemeja lengan panjang.

Penutup kepala mereka pun berbeda-beda. Satu tanpa penutup kepala dengan potongan rambut belah tengah, satu berpeci, pria di sampingnya memakai topi pet, dan satu lagi mengenakan fedora.

Sesuai keterangan pada foto Imperial War Museum di National Archief, diduga sebagai pemuda Indonesia yang bertanggungjawab atas tewasnya dua pilot RAF (Royal Air Force) dan penumpangnya di Rawa Gatel, Cakung, Bekasi.

Baca juga:

Bang Pi`ie Kecil-Kecil Buaya Pasar Senen

Mereka kerap memakai dan menggabung seragam bekas tentara. (Nationaal Archief)

Setelah kejadian tersebut, Letnan Jendral Philip Christison, Panglima Sekutu di Indonesia, mengirim konvoi pasukan dalam jumlah besar. Moncong tank memuntahkan mortir tertuju pada permukiman. Tentara Inggris, menurut Ricard McMillan pada The British Occupation of Indonesia, 1945-1946, membakar sekitar 600 rumah penduduk dan gedung tangsi polisi. Bentrok antara pasukan Sekutu dengan laskar acap terjadi di Karawang dan Bekasi.

Setelah Sutan Sjahrir meminta pengosongan Jakarta, para pejuang memindahkan markas perjuangan di Karawang dan Bekasi. Di masa revolusi para laskar itu kebanyakan adalah para pemuda, santri, dan orang-orang dari dunia hitam seperti perampok atau jago.

Mereka tidak pernah takut untuk menghadapi serangan pasukan NICA dan tentara sekutu. Meskipun dengan sumber daya amunisi, logistik, dan sandang yang terbatas. Tak ayal bila para laskar tidak berseragam.

"Mereka memakai baju apa adanya," ungkap Wenri Wanhar, penulis buku Gedoran Depok, Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955.

Para jago itu sehari-hari memakai celana pangsi, kemudian dipadukan dengan pakaian hasil rampasan dari lawannya, seperti tentara NICA atau sekutu. Makanya mereka sebenarnya memiliki baju yang lebih baik dari tentara Indonesia. Mereka memakai jaket Austerity, battledress milik pasukan Eropa, seragam milik tentara Jepang, dan sepatu lars.

Di antara aneka ragam pakaian jago di badan kelaskaran, ada satu pakaian milik musuh selalu jadi incaran.

"Umumnya, laskar-laskar itu, jadi kalau berhasil lawan musuh semuanya, enggak semua kostum musuhnya dipakai. Hanya beberapa bagian diambil. Jadi umumnya para pemimpin laskar itu pakai topi Capio (Capyo). Disebutnya topi Capio, memang ternyata mereknya Yo jadi Cap Yo," tutur Wenri.

Baca Juga:

Aksi Bang Pi`ie Jago Revolusi

Potret KRIS dari jaman revolusi dengan berbagai gaya pakaian khasnya (IPPHOS)

Capyo atau Capio ialah topi bertungkai pendek mengitari kepala. Bentuknya sekilas mirip dengan peci, tapi agak sedikit lebar. "Ada kebanggan fesyen bila memakainya. Jadi Capio tuh fesyen menempati, kasarnya, kalangan atas. Dianggap paling keren lah," lanjutnya.

Penampilan urakan pemuda dan jago di masa revolusi, selain karena dalam masa perlawanan yang membuat mereka mengenakan sandang seadanya, itu juga merupakan bentuk perlawanan terhadap tatatan kolonial.

"Orang-orang muda memilih membiarkan rambutnya memanjang, hingga akhirnya kemerdekaan bisa diraih. Meski tak semua bersikap begitu," tulis tulis William H. Fredercik dalam The Appearance of The Revolution: Cloth, Uniforms, and the Pemuda Style in East Java, 1945-1949 pada buku Outward Apperances" Dressing State and Society in Indonesia.

Sementara pada jago masih terbungkus kental dengan unsur tradisi Betawi. Dalam tata cara berpakaian, menurut Muhammad Fauzi pada Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan, 1950-1966, Tesis Sejarah FIB-UI, biasanya menggunakan celana panjang berwarna kuning atau krem. Kemudian pada bagian atasnya adalah jas tutup warna putih dengan bersarung ujung serong, berpeci hitam atau destar dan dengan alas kaki terompah.

"Fungsi pakaian melekat pada tubuh jagoan ini bukan hanya sebagai penghubung tubuh dengan dunia sosial, melainkan juga untuk memisahkan keduanya," tulis Fauzi.

Tampilan urakan sejumlah jagoan revolusi menjadi nadi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdakaan. Ali Sastroamidjojo dalam biografinya berjudul Tonggak-Tonggak di Perjalananku menuliskan, "Pemuda-pemuda rambut panjang, pejuang-pejuang bersenjata tak kenal nama-namanya itu, dengan tingkah laku serba-serampangan, merupakan kekuatan revolusi." (Ryn)

Baca Juga:

Hasil Lengkap 'Visum et Repertum' Patahkan Hoax Siksa Keji 7 Pahlawan Revolusi

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan