Politik Etis Picu Semangat Nasionalisme di STOVIA

Jumat, 20 Mei 2016 - Noer Ardiansjah

MerahPutih Budaya - Hingga akhir abad ke-19, realitasnya pemerintah kolonial Belanda masih menyisakan penderitaan lahir dan batin rakyat Hindia Belanda (kini Indonesia) sebagai kaum terjajah. Meski pada abad itu pula, pemerintah kolonial Belanda mulai bersikap "lunak" dengan kebijakan Politik Etis-nya.

Meski demikian, aturan terhadap Politik Etis atau Politik Balas Budi itu pun dinilai sejarawan Wenri Wanhar mempunyai kepentingan tersendiri.

"Dari situ, kolonial Belanda merekrut banyak priyayi atasan ke dalam jajaran hierarkinya sehingga mengubah pembesar tradisional menjadi bagian dari birokrasi penjajah," kata Wenri kepada merahputih.com di Jakarta, Jumat (20/5).

Gedung STOVIA yang kini Museum Kebangkitan Nasional. (Foto: MerahPutih/Noer Ardiansjah)

Barulah pada awal abad ke-20, jelas Wenri, muncul pemikiran-pemikiran baru yang digagas oleh sekelompok pelajar sekolah kedokteran atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia. "Perbedaan suku, agama, dan budaya di antara pelajar STOVIA mulai luntur. Diganti dengan kesadaran persamaan nasib sebagai anak bangsa yang terjajah," jelas Wenri.

Para pelajar STOVIA membuat sebuah gerakan guna bangkit dari keterpurukan yang dilakukan kolonial Belanda. Agar perjuangan semakin nyata, akhirnya mereka membentuk perhimpunan dengan nama Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908.

"Gagasan itu yang kemudian membangkitkan semangat nasionalisme pelajar dan tokoh lainnya untuk memperjuangkan nasib saudara kita yang tertindas," pungkasnya. (Ard)

BACA JUGA:

  1. Wisata Edukasi Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta
  2. Miris, Museum Perjuangan Sepi Pengunjung
  3. Museum Perjuangan di Yogyakarta
  4. Wisata Edukasi Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta
  5. Yuk Kunjungi Museum Perjuangan di Yogyakarta

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan