Pemburu Anti Hoaks, Jagoan Negeri Aing di Tengah Kepalsuan Informasi
Jumat, 13 Agustus 2021 -
“Bro,...habis suntik vaksin katanya bisa nempelin uang logam di bekas suntikan, ya,” kata salah satu warga yang sudah menerima vaksin. Ini merupakan salah satu contoh hoaks yang tersebar di masa pandemi.
Padahal CDC menjelaskan Vaksin COVID-19 tidak mengandung bahan yang dapat menghasilkan medan elektromagnetik di bagian tubuh yang disuntik. CDC juga menambahkan dosis yang ada pada suntikan vaksin tidak cukup untuk mengantarkan medan elektromagnetik.
Baca juga:
Hoaks adalah sisi gelap sebuah informasi. Ibarat bongkahan gunung es yang menggambarkan situs permukaan dan dunia bawah, hoaks hadir sebagai informasi penjebak.
Musuh sejati hoaks adalah konten fakta. Fakta mendorong pembaca dan masyarakat mencari tahu lebih dalam. Sayangnya, niat itu hanya bisa ditumbuhkan tiap-tiap individu. Selain wilayah internal, eksternal juga mempengaruhi diri menghadapi gelombang informasi.
Hoaks tidak bergerak sendirian, tapi bergerak bersama Misinformasi dan Disinformasi. Demi memenangkan pertempuran melawan hoaks, media-media di negeri agraris bermitra membuat platform khusus cek fakta. Kemudian, ada lembaga independen pemburu hoaks, yakni Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO).

Berdasarkan data PISA pada 2019, masyarakat Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 daftar negara. Literasi yang rendah dari negeri ini disebabkan tidak berimbangnya hulu dan hilir.
Hilir terkena serangan stigma bahwa Indonesia rendah dari segala sektor, seperti rendah dalam budaya membaca, dan inovasi menghasilkan ide baru. Disusul, hulu berkutat dengan bacaan nasional, yang bila diukur secara rasio mencapai 0,09 saja.
Sederhananya, satu buku ditunggu 90 orang-orang negeri agraris selama satu tahun, sedangkan standar United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) adalah tiga buku baru untuk setiap orang per tahunnya.
Jalan keluar sementara dari permasalahan ini adalah membuat buku berkonten lokal, baik bahasan geografis maupun sumber daya manusia (SDM) wilayah itu. Seiring berjalannya waktu, kekuatan buku pindah ke daring, mengubah literasi cetak menjadi digital.
Namun, perubahan medium tidak mengubah kemampuan membaca negeri yang memprihatinkan. Karena kondisi itulah, hoaks, misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian merajalela. Hoaks atau berita bohong adalah konten yang dibuat seolah-olah benar adanya, tapi nilai kebenaran aslinya mendekati nol.
Tujuan utama dari hoaks adalah menimbulkan kepanikan, salah paham, dan hilangnya kepercayaan terhadap tulisan atau orang yang mengunggahnya. Bahaya dari hoaks adalah pemicu keributan, perselisihan, sampai ujaran kebencian. Kalau kamu menganggap mudah sebuah hoaks, maka secara bertingkat membentuk mentalitas hoaks. Artinya, kamu ataupun masyarakat mudah mempercayai sebuah konten hoaks tanpa verifikasi lebih lanjut.
Hoaks tidak menjauh dari disinformasi dan misinformasi. Disinformasi memberi tekanan pada tindakan pelaku secara sengaja, sedangkan misinformasi adalah konten yang salah sejak awal dan disebarkan.
Misinformasi tidak membahayakan orang lain, tapi mengaburkan isi sebenarnya kepada pembaca. Misinformasi dapat terjadi di media massa, karenanya perlu pengecekan faktual, baik reporter maupun editor terhadap peristiwa yang diangkat.

Bila misinformasi tidak ditujukan untuk membahayakan orang lain, maka disinformasi adalah kebalikannya. Yakni menipu, mengancam, dan membahayakan seseorang, baik namanya maupun hubungan sosial di sekitarnya.
Ketika hoaks menyerang, ada lembaga independen bernama MAFINDO, yang tidak menghilang saat dibutuhkan. Lembaga ini mengolah laman cek fakta TurnBackHoax.Id, sehingga konten-konten klaim dapat diverifikasi kekuatan kebenarannya.
Baca juga:
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia tidak berdiri melalui pendaftaran Dewan Pers, tapi lewat media sosial Facebook. Nama awalnya adalah ‘Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax’ (FAFHH) pada 2015 silam. Gerakan ini didirikan oleh Harry Sufehmi, sebagai tanggapan dirinya melawan fitnah, hoaks, ujaran kebencian, dan hasutan. Hal itu dilakukan guna menanggapi perkembangan media sosial saat itu.
Setahun kemudian, Harry bersama enam rekan sejawatnya, mulai mengajukan proposal. Tujuannya untuk mengesahkan FAFHH pada 2016. Hasil akhirnya bisa ditebak, yakni lahirnya MAFINDO secara resmi pada awal Desember 2016.
Keenam rekan sejawat Harry adalah Judith Lubis, Catharina Widyasrini, Aribowo Sasmito, Eko Juniarti, Faisal Aditya, dan Septiaji Eko Nugroho. Pasca peluncuran, lembaga sudah mengarungi negeri agraria dengan relawannya yang siap menghadirkan konten-konten cek fakta.
Kemudian, MAFINDO menjadi garda terdepan melawan hoaks di tanah air, terutama pandemi COVID-19. Cerita-cerita mengenai COVID-19 rentan dengan manipulasi dan kepalsuan publikasi. Di sanalah peran MAFINDO sebagai pemburu hoaks diperlukan.
Dalam pelaksanaannya, MAFINDO menggunakan sistem klasifikasi ganda, yaitu umum dan akademis. Selanjutnya, umum dibagi menjadi ‘benar’ dan ‘hoaks,’ sedangkan setengah benar juga dikategorikan sebagai hoaks.

Khusus klasifikasi akademis, MAFINDO menajamkan serangan dengan tujuh bagian amunisinya. Amunisi satir alias parodi memiliki arti mengecoh pembaca kendati tidak berbahaya. Disusul, amunisi salah, terdiri dari konteks dan koneksi.
Koneksi berarti judul berbeda dengan isi konten, sedangkan konteks menekankan pada narasi yang salah. Mafindo juga memiliki tiga amunisi hebat pengecek konten pelintiran, penulisan publik figur secara bebas, dan manipulasi isi.
Di samping itu, ada amunisi fabrikasi, yakni menggaris bawahi kepalsuan sebuah konten secara 100 persen tanpa pengurangan. Lembaga mengupayakan kriteria berbahaya dan respon cepat sebagai pengerjaan awal. Pengerjaan awal ditujukan kepada masyarakat awam, dengan konten sederhana dan gampang masuk ke kepala.
Mafindo bukan lembaga semata, melainkan pemburu hoaks COVID-19 yang tidak kenal lelah menangkap kepalsuan. Mereka layak menyandang predikat jagoan di negeri aing. (bed)
Baca juga: