Ngabuburit Main Dakon Sambil Tengok Sejarahnya
Senin, 18 Maret 2024 -
MERAHPUTIH.COM - JIKA bocah sekarang bocah gemar main gim ponsel menunggu waktu berbuka puasa, khususnya di dekade 90-an, dakon jadi satu di antara beragam permainan tradisional paling lumrah untuk ngabuburit. Dakon atau congklak, menurut James Dananjaya pada Folklore Indonesia, tersebar luas di Asia dan Afrika, terutama di kawasan yang paling kuat terkena pengaruh kebudayaan Islam.
Tiap darah di Asia punya sebutan berlainan. Di Sri Lanka, mainan ini disebut canka, di Semenanjung Melayu bernama conkak, Filipina terpusatnya cunkayon , dan di Afrika diasma mankala.
Di Afrika, menurut Dennys Lombard, pada magnum opus Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia , dakon serupa mangala di berbagai tempat di Samudra Hindia, Madagaskar, dan Turki, setidaknya sejak abad ke-17.
Baca juga:
Dakon , lanjut Lombard, berasal dari kata daku atau saya, mengesankan penonjolan ego, tapi justru menjadi contoh terbaik dari permainan tradisional non-kompetitif. Tujuannya hanya menghibur melalui hubungan timbal balik.
Ketika orang Eropa di tanah Hindia memainkannya untuk kali pertama, dengan terkejut mereka menyadari permainan ini bertujuan bukan untuk mencari menang, berbeda dari dam-daman (catur Jawa).
“Peraturannya memang dibuat sedemikian rupa sehingga permainan dapat berlangsung berjam-jam dan hanya sekali-kali terhenti karena kekalahan (habisnya biji di dalam lubang tertentu) salah satu pemain,” tulis Lombard.
Di Jawa, sebelum populer di kalangan istana keraton, dakon merupakan dolanan (permainan) tradisional kalangan keluarga petani. Tak heran bila istilah di dalam permainan menggunakan sebutan keseharian penggarap sawah, seperti bera atau sawah belum ditanami, ngacang atau nandur kacang atau sawah dengan hasil panen sedikit, dan lumbung atau tempat menaruh padi.
Dengan begitu, ketika anak memainkan dakon terdapat pengetahuan strategi yang cocok ditanam agar menabung di lumbung, beroleh untung supaya tidak bera atau ngacang .
Permainan anak-anak petani itu, menurut Sukirman Dharmamulya, peneliti mainan anak Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Yogyakarta, dikutip Menelisik Permainan Anak-Anak dari Zaman Hindia, cepat sekali mendapat tempat di hati penghuni keraton. "Apalagi di keraton banyak sawo kecik," katanya Sukirman memberi tambahan informasi biji sawo kecik sebagai bahan permainan pengganti biji padi.
Di lingkungan keraton, menurut AJ Resink-Wilkens dalam Het Dakonspel (Permainan Dakon), dakon biasa dimainkan anak-anak perempuan dari kalangan bangsawan. Tiap keluarga di masing-masing trah setidaknya memiliki satu bidang permainan.(*)
Baca juga:
3 Tempat Wisata Religi di Kota Tangerang, Cocok Buat Ngabuburit