Museum MACAN Persembahkan 'Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang'
Jumat, 27 Oktober 2023 -
SEBANYAK 823 pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digoel, Papua, pada tahun 1926. Di tengah kesulitan yang melanda, para pejuang ini tetap berjuang untuk bertahan hidup.
Pejuang-pejuang nan berjasa kepada Indonesia ini beralih pada musik dan seni untuk mempertahankan semangat hidup selama diasingkan. Mereka menggunakan perkakas seadanya, seperti paku, bilah cangkul, kaleng kosong, rantang, dan peralatan makan untuk menciptakan seperangkat gamelan.
Baca Juga:
Sayangnya, pada 1942, setelah Jepang mengambil alih Hindia Belanda, para pejuang ini dilarikan ke Australia dan memboyong gamelan ini ke sana. Setelah kemerdekaan, sebagian dari para pejuang kembali ke tanah air. Namun, nasib sebagian besar dari mereka tidak diketahui karena kisahnya tidak banyak diceritakan lagi.

Pertunjukan Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang akan merepresentasikan kisah perjuangan mereka ini kepada pencinta seni di Museum MACAN. Pertunjukkan yang digagas oleh perupa Jumaadi dan The Shadow Factory ini akan dipersembahkan dengan agenda terbatas, yakni pada 18-26 November 2023, bersamaan dengan pembukaan pameran terbaru bertajuk Voice Against Reason.
Pertunjukan inovatif ini menampilkan ratusan wayang kertas dalam berbagai ukuran. Bentuk setiap wayang kertas mewujudkan sebuah potongan peristiwa, dan dimainkan secara terampil oleh dua orang pawang bayang-bayang di atas dua mesin OHP (overhead projector).
Baca Juga:
Jumaadi mengatakan Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang adalah sebuah kisah tentang bertahan hidup–bagaimana seni dan keindahan menjadi penting bagi umat manusia.
"Pengunjung akan menyaksikan kisah akan migrasi dan perpindahan; gagasan-gagasan tentang keindahan dalam ketangguhan, menemukan keberanian, dan kebebasan berekspresi," kata Jumaadi, dalam siaran pers yang diterima merahputih.com, Jumat (27/10).

Jumaadi lahir di Sidoarjo, Jawa Timur, dan pindah ke Sydney, Australia, pada tahun 1997 untuk belajar di National Art School. Ia merupakan seorang perupa multidisipliner yang praktik artistiknya dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yang mendalam, serta politik, literatur, dan sejarah estetika Indonesia. Ia berkarya lewat lukisan dan pertunjukan dan karyanya menggambarkan roh dan makhluk khayalan yang menyampaikan cerita yang instrinsik akan sejarah dan identitasnya.
Jumaadi merupakan salah satu dari pendiri The Shadow Factory, sebuah kolektif perupa dan musik yang juga melibatkan Ndimas Narko Utomo, Zalfa Robby, Purwita Chirnicalia, dan Satria Bela Insani.
Selain itu, karya Jumaadi juga memunculkan pertanyaan tentang relevansi wayang di era digital ini. Selama 1,5 tahun terakhir mengembangkan proyek ini, Jumaadi mengatakan telah mencoba menata ulang wayang dengan mengeksplorasi medium kertas, cerita, dan musik. Ia bersama orang-orang yang terlibat di dalamnya menyajikan pertunjukan langsung dengan ratusan guntingan kertas dalam berbagai bentuk dan ukuran.
"Bekerja dalam skala besar dengan The Shadow Factory dan dapat menampilkan karya baru ini pada pembukaan Voice Against Reason di Museum MACAN merupakan hal yang sangat menyenangkan dan membuat saya bersemangat," tutupnya. (ikh)
Baca Juga: