Mengapa Produk Fisik Masih Dicari pada Era Digital?
Rabu, 21 Juni 2023 -
KALAU kamu kolektor musik, kamu perlu mendedikasikan sebagian besar ruang di rumah untuk CD dan piringan hitam. Itu dulu. Sekarang? Hampir semua lagu yang kamu sukai bisa didengarkan hanya dengan beberapa klik saja.
Di satu sisi, situasi ini tanda kemajuan besar. Namun, selain penggemar barang jadul, adakah contoh yang menunjukkan kita sebenarnya lebih suka memiliki benda fisik? Studi sebelumnya telah menemukan bahwa faktor kunci di sini mungkin adalah identitas sosial konsumen.
Sering kali yang kita dengarkan hanyalah musik suasana hati yang menyenangkan. Mungkin kita suka mengenakan sesuatu saat melakukan pekerjaan rumah tangga atau kita menginginkan sesuatu yang menyemangati saat berada di gym.
Namun, di lain waktu, musik bukan hanya tentang apa yang kita suka dengarkan, tetapi siapa diri kita. Sebagai identitas diri, musik membawa nilai personal dan simbolik.
Jika demikian, apakah konsumen lebih cenderung memilih produk fisik yang nyata semisal piringan hitam atau CD daripada versi digital seperti lagu yang dapat dialirkan di Spotify?
Baca juga:
Bermain Bersama Cara Ideal Bangun Ikatan dengan Anak di Era Digital

Untuk menyelidiki hal ini, tim peneliti yang dipimpin oleh Eugina Leung dari Tulane University di New Orleans, AS, melakukan serangkaian penelitian tentang psikologi konsumen konsumsi berbasis identitas.
Eksperimen pertama meneliti bagaimana preferensi konsumen untuk produk fisik, khususnya pada buku, bergeser berdasarkan bagaimana materi buku terkait dengan identitas konsumen.
Pesertanya terdiri atas orang yang mengidentifikasi diri sebagai 'gamer' karena mereka memiliki preferensi yang lebih kuat pada benda-benda digital karena terbiasa main gim.
Hampir 600 peserta direkrut untuk mengambil bagian dalam penelitian dan ditunjukkan sebuah buku yang berhubungan dengan identitas gim, misalnya The Legend of Zelda: Hyrule Historia.
Mereka kemudian memilih antara menerima salinan fisik atau digital. Data tersebut mendukung hipotesis para peneliti. Ketika buku-buku tersebut berhubungan dengan identitas gim, para gamer lebih menyukai salinan fisik.
Studi kedua berusaha untuk lebih memahami mekanisme yang menghubungkan identitas konsumen dengan versi fisik produk mereka. Secara khusus, para peneliti berhipotesis bahwa produk fisik, tidak seperti produk digital, memberikan lebih banyak peluang untuk kepemilikan psikologis.
Untuk mengujinya, mereka merekrut 501 peserta dan secara acak membaginya menjadi kelompok “identifikasi kuat” atau kelompok kontrol. Yang pertama, para peserta diminta menulis tentang penulis yang sangat mereka sukai. Yang terakhir, mereka diminta menulis tentang penulis yang hanya mereka ketahui.
Baca juga:
Berhasil Diluncurkan, Satelit SATRIA-1 Mudahkan Konektivitas Digital

Dua kelompok tersebut kemudian diberi skenario yang memungkinkan mereka bisa mendapatkan buku yang belum mereka baca dari penulis tersebut. Mereka bisa mendapatkannya dalam bentuk digital atau fisik.
Terakhir, peserta menjawab kuis singkat tentang buku sehubungan dengan kepemilikan psikologis. Misalnya, “Saya merasa seperti memiliki buku (e-book),”.
Hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan psikologis memainkan peran yang kuat. Peserta yang menulis tentang buku lebih cenderung memilih versi digital, sedangkan kelompok kontrol yang mengungkapkan perasaan kepemilikan psikologis yang lebih besar memilih versi fisik.
Penelitian ini menambah kumpulan studi yang menunjukkan hubungan erat antara identitas sosial seseorang dan perilaku konsumen mereka.
Produk fisik, tidak seperti rekan digital mereka, memberikan peluang lebih besar untuk kepemilikan psikologis.
Sudah menjadi sifat manusia untuk melekat pada hal-hal fisik. Jadi, ketika produk fisik selaras dengan identitas konsumen, itu memberikan nilai simbolis dan verifikasi diri yang lebih besar.
Secara keseluruhan, temuan ini memberikan wawasan tentang faktor sosial yang membentuk psikologi konsumen dalam domain digital, yang pada gilirannya harus menginformasikan pendekatan pemasar.
Karena semakin banyak industri yang terganggu oleh teknologi digital dan "dematerialisasi", penelitian ini menunjukkan bahwa identitas sosial konsumen adalah variabel kunci untuk memahami preferensi mereka terhadap produk fisik. (aru)
Baca juga:
Indonesia Kolaborasi dengan Tony Blair Institute untuk Bangun Pemerintahan Digital