Mengapa Kita Harus Diet Fesyen?
Rabu, 13 April 2022 -
DI balik gemerlapnya dunia fesyen, tersimpan sisi gelap yang jarang terlihat. UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019 menyebut bahwa fesyen adalah industri paling berpolusi kedua di dunia setelah industri perminyakan.
Sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fesyen. Bahkan, jumlah emisi karbon dari industri ini lebih besar daripada total emisi yang dihasilkan dari gabungan industri jasa pengiriman dan penerbangan. Hal tersebut mengindikasi adanya peran besar industri ini dalam mendorong terjadinya krisis iklim.
Baca Juga:
Canggih! Jakarta Fashion Week Siap Hadirkan Metaverse Fesyen

Di masa mendatang, generasi muda akan menjadi yang paling terdampak oleh perubahan iklim tersebut. Untuk meminimalisir dampaknya bagi mereka, sejak sekarang generasi muda perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya beraksi dalam memperlambat perubahan iklim. The Partnership for Governance Reform atau yang biasa disebut KEMITRAAN melibatkan generasi muda dalam aksi memperlambat perubahan iklim melalui tindakan nyata yang sederhana. Yakni Gerakan Generasi Nol Emisi.
“Kami menggagas kampanye #MakinBelelMakinNyaman melalui media sosial pada awal 2022. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya limbah fashion dengan tetap merawat pakaian-pakaian lama. Dalam kampanye tersebut generasi muda diminta menunjukkan koleksi pakaian lama mereka dan berbagi cerita tentang usaha mereka mengurangi belanja fesyen untuk menjaga Bumi,” urai Program Director for Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN, Dewi Rizki.
Rupa limbah fesyen

Limbah fesyen terdiri dari berbagai bentuk, misalnya limbah cairan dan limbah kain. Limbah cairan berasal dari pewarnaan tekstil. Walaupun nampaknya sederhana, limbah cairan dari industri fesyen ini berdampak besar bagi lingkungan.
Dewi mengungkapkan bahwa 20 persen limbah cairan di dunia berasal dari industri fesyen. Pewarnaan tekstil menjadi polutan air terbesar kedua di dunia. Karena sisa air dari proses pewarnaan sering kali dibuang ke selokan dan sungai. Padahal, limbah ini mengandung zat-zat sisa pewarna kimia sintetis yang berbahaya bagi lingkungan.
Sementara limbah kain berasal dari sisa kain produksi pakaian di pabrik berskala kecil dan besar, serta pakaian tak terpakai yang kita buang. Masalahnya, sejumlah bahan pakaian seperti polyester dan nilon tidak mudah terurai secara alami. Ini membutuhkan waktu antara 20 sampai 200 tahun hingga bisa terurai. Meski begitu, ada juga pakaian dari bahan kain bisa terurai secara alami, misalnya katun, terutama yang 100 persen. Katun bisa terurai dalam hitungan minggu hingga lima bulan, sedangkan bahan linen bisa terurai dalam dua minggu.
Krisis iklim

Emisi karbon yang sangat besar dari industri fesyen terjadi pada setiap tahap rantai pasokannya dan siklus produk. Namun itu didominasi oleh kegiatan hulu. Sebanyak 70% emisi karbon berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah. Kegiatan fesyan yang berdampak terhadap krisis iklim juga terkait dengan air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah tekstil, serta mikroplastik yang tidak bisa terurai secara alami.
“Saat ini 63% pakaian terbuat dari kain sintetis atau campuran. Hasil pencucian pakaian dari bahan sintetis dalam setiap beban pencucian akan menghasilkan lebih dari tujuh ratus ribu serat mikroplastik, yang akan langsung mengalir ke pembuangan air dan bermuara di laut,” ucap Dewi.
Di sisi lain, industri fesyen juga membutuhkan konsumsi air dalam jumlah banyak. Produksi satu potong jeans membutuhkan 7.500 liter air. Ini setara dengan rata-rata jumlah air minum yang kita konsumsi selama tujuh tahun. Sementara itu, produksi sehelai kaus katun memerlukan 700 galon air, yang setara dengan kebutuhan air minum seseorang per hari (8 gelas) selama 3,5 tahun. Tidak aneh jika industri fesyen duduk di posisi kedua dalam penggunaan suplai air dunia.
Fast fashion punya andil besar

Dari tahun ke tahun, konsumsi produk pakaian terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah budaya fast fashion yang memproduksi berbagai model dalam waktu sangat singkat, serta menggunakan bahan baku yang buruk dan murah. “Karena harganya yang murah dan modelnya sedang tren. Banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut,” kata Dewi.
Dahulu rata-rata brand merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin. Namun, sekarang frekuensinya bisa jauh lebih tinggi. Ada brand global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun. Bahkan, ada yang mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi.
Baca Juga:
Adidas Hadirkan Yeezy 450 Cinder, Sepatu Hasil Daur Ulang Plastik
Perilaku konsumen

Sebagai perempuan muda yang menyukai fesyen, Dinda Ayudita, Runner Up Pertama Putri Indonesia Bengkulu 2022 mengakui dulu bisa belanja baju baru setiap hari. Meskipun, pada akhirnya baju itu hanya terpakai satu-dua kali saja, lalu tersimpan rapi di lemari tanpa pernah tersentuh lagi. Hingga suatu ketika, ia merasa kamarnya terasa begitu sesak oleh dua lemari besar yang penuh sekali berisi baju, dan baju barunya tidak cukup lagi disimpan dalam lemari tersebut.
“Ketika itu saya mulai berpikir ulang tentang kebiasaan membeli baju. Sudah saatnya saya berubah total. Sekarang saya jarang sekali beli baju. Belum tentu setiap satu-dua bulan saya beli baju,” kata Dinda, yang mengajukan diri untuk jadi duta kampanye #GenerasiNolEmisi di media sosial.
Dari pengamatannya di lingkungan pertemanan, kebiasaan belanja baju luar biasa tinggi. Misalnya, temannya sengaja beli baju baru demi acara makan malam padahal koleksi bajunya sudah sangat banyak dan hanya akan dipakai satu kali itu saja.
Dinda berbagi tip agar kita tidak perlu terus-menerus belanja produk fesyen. “Pilih produk fesyen yang basic dalam warna-warna monokrom, seperti hitam dan cokelat. Sehingga bisa dikenakan di berbagai acara dan dipadankan dengan macam-macam aksesori. Basic item milik saya adalah jeans, kaus ketat atau tank top, dan sepatu putih. Kalau mati gaya, sepatu putih tidak pernah gagal jadi penolong,” kata Dinda.
Donasi

Selain mengurangi belanja produk fashion, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk meminimalkan limbah fesyen. Yang paling sederhana adalah mendonasikan pakaian lama yang masih layak pakai kepada mereka yang membutuhkan.
Karena koleksi bajunya sudah begitu banyak, Dinda mempunyai ide untuk mengajak teman-temannya mengadakan garage sale. Setengah dari hasil penjualan didonasikan kepada orang yang memerlukan. Dan, rupanya, pakaian tak terpakai di rumahnya bukan hanya milik dia sendiri, melainkan juga milik ibunya.
“Saya seleksi beberapa baju kepunyaan ibu. Baju yang warnanya saya sukai, langsung dipakai. Tapi, kalau saya tidak suka warnanya tapi suka modelnya, biasanya saya warnai dengan warna hitam pekat. Ada juga kaus yang terlalu panjang, sehingga kemudian saya potong dan potongan kainnya dijadikan lap. Saya juga pernah rework tas milik ibu saya yang warna hitamnya sudah sangat pudar,” kata Dinda, yang minta diajari menjahit oleh ibunya agar bisa mengubah model baju yang tak lagi terpakai.
Jika sangat perlu belanja baju, Dewi menyarankan agar kamu memastikan semua diproses secara bertanggung jawab. Antara lain, memastikan pakaian tersebut diproses secara berkelanjutan, misalnya memakai bahan daur ulang, dan dibuat dari bahan yang tahan lama.
“Mengurangi sampah fesyen adalah aksi sederhana yang bisa kita lakukan untuk memperlambat perubahan iklim. Jadi, mari menunjukkan rasa cinta pada bumi dengan mengurangi belanja produk fesyen, merawat pakaian dengan baik, dan memodifikasi pakaian lama. Semakin banyak anak muda terlibat, dampak perubahan iklim pada dunia dapat makin diperlambat,” kata Dewi. (avia)
Baca Juga: