LAPSUS: Kisah Peranakan Tionghoa Juragan Bata Penentang Belanda

Kamis, 17 Agustus 2017 - Thomas Kukuh

PARA pejuang dari Lasem juga dikenal dengan nama Laskar Dampo Awang Lasem, yang pada mulanya berhasil menguasai Rembang akhirnya menderita kekalahan saat menyerang Jepara. Bahkan, satu dari tiga pemimpinnya gugur pada 1742. Dia adalah Tan Kee Wie.

Salah seorang sesepuh Kelenteng Gie Yong Bio Gandor Sugiharto Santoso saat ditemui MerahPutih.com di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pekan lalu menceritakan sosok Tan Kee Wie.

Gandor mengatakan bahwa Tan Kee Wie merupakan peranakan Tionghoa sekaligus juragan bata yang dermawan. Selain menjadi pengusaha, ia juga dikenal sebagai pendekar atau guru kungfu.

"Saat perang terjadi, Tan Kee Wie mengangkat sumpah saudara dengan Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono (menjadi pemimpin Laskar Dampo Awang Lasem). Mereka bersumpah bersama-sama melawan kolonial Belanda," kata Gandor di Kelenteng Gie Yong Bio, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Gandor lantas menceritakan apa penyebab kegagalan Laskar Dampo Awang Lasem dalam menguasai Jepara.

Menurut Gandor, Laskar Dampo Awang Lasem dibagi menjadi dua kelompok. Yaitu pasukan laut yang misinya menyerang pelabuhan Jepara dan pasukan infanteri yang melakukan serangan dari darat.

Pasukan laut dipimpin oleh Tan Kee Wie. Sementara pasukan infanteri dipimpin Raden Panji Margono dan Oei Ing Kiat.

Kala itu, pejuang infanteri yang bergerak dari Lasem berhasil memukul mundur pasukan kolonial di Rembang. Mereka pun terus bergerak menuju Jepara.

Sampai akhirnya pejuang infanteri sukses merangsek ke barat, sampai ke sisi sungai Juwana. Dari posisi tersebut, pasukan infanteri siap untuk menyerang tangsi Belanda di pusat kota Jepara yang berada di sisi utara.

Namun, mereka terlebih dulu menunggu kedatangan pasukan laut yang dipimpin Tan Kee Wie. Skenarionya, pasukan infanteri dan pasukan laut mengepung tangsi Belanda di Jepara dari dua sisi. Laut dan darat.

Sementara itu, Armada kapal jung yang dipimpin Tan Kee Wie dan berangkat dari Lasem menuju ke Jepara mendapatkan bantuan pasukan laut peranakan Tionghoa di pesisir Tayu (utara Lasem).

Tepat pada tanggal 5 November 1742, saat melewati selat Ujung Watu (selat antara daratan Jepara dan Pulau Mandalika), ternyata pejuang Tan Kee Wie sudah ditunggu kapal perang kolonial Belanda.

Peperangan tak bisa dihindari. Kapal kolonial secara membabi buta menembakkan meriam ke kapal yang ditumpangi Laskar Dampo Awang Lasem. Tapi Tan Kee Wie dan pasukan tak tinggal diam. Mereka melawan.

Selat Ujung Watu mendadak berubah menjadi lautan darah. Nahas, Tan Kee Wie pun tewas. Lasem pun berduka.

Mendengar kabar kematian Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat yang sama-sama peranakan Tionghoa hilang kendali. Raden Panji Margono coba menenangkan. Tapi gagal.

Melihat situasi yang tak keruan, Raden Panji Margono memutuskan menarik mundur seluruh pasukan bersama Oei Ing Kiat. Rencana untuk menyerang Semarang pun diurungkan.

Untuk mengenang perjuangan Tan Kee Wie dan pasukannya, orang-orang Lasem membuat sebuah prasasti di Batu Salat menggunakan aksara Tiongkok pada 5 November 1742.

Batu peringatan itu diletakkan di tengah-tengah pematang tambak kepunyaan Tan Kee Wie di daerah Batu Mini (dekat muara Lasem). Pada prasasti tersebut tertulis nama-nama pejuang yang meninggal ketika melawan kolonial Belanda. Namun sayang, sampai sekarang prasasti tersebut belum ditemukan.

Berdasarkan buku Babad Lasem gubahan Raden Panji Kamzah tahun 1858 disalin oleh Raden Panji Karsono tahun 1920 disebutkan bahwa saat pembuatan prasasti dilakukan sembahyang oleh para keluarga pejuang. Di tengah kesedihan itu, mereka berdoa supaya Belanda pergi dari Bumi Jawa.

Seorang perempuan Tionghoa yang sudah tua bersemedi. Saking sedihnya, dia menangis tersedu-sedu. Sebab, dua anak laki-lakinya ikut meninggal di Laut Mandalika. Nama wanita tua itu ialah Oei Tiang Nio.

Di dalam meditasinya, dia merasa didatangi dan dinasihati oleh Dewi Kwan Im.

Dewi Kwan Im berkata, “Dhuh lae para Panandhang nalangsa ing bumi Jawa, padha tabah sabara atimu, padha tetep madhep nyenyuwuna marang Kang Maha Kuasa lan maring Sang Buddha, yen kanthi temen-temen pangestimu, mesthi bakal klakon lan kasembadan kabeh sedyamu. Kumpeni Walanda bakal sirna, ing besuk yen Tambak Bathuk wis sirna ora ana,”

Kira-kira artinya: Duh, yang sedang bersedih hati di Bumi Jawa agar tabah dan sabar di hatimu. Tetap berdoa kepada Yang Mahakuasa, kepada Sang Budha. Jika permintaanmu sungguh-sungguh, pasti bakal terkabul apa yang kamu inginkan. Yaitu hilangnya kompeni Belanda jika Tambak Batu sudah tidak ada."

"Kematian Tan Kee Wie jelas membuat para pejuang lainnya termasuk Oei Ing Kiat dan Panji Margono merasa kehilangan. Saat itu, Lasem berduka. Meski demikian, semangat untuk melawan penindasan kolonial tidak pernah surut, hingga akhirnya...." kata Gandor. (*/bersambung)

Baca Juga:

- Jejak Perjuangan Etnis Tionghoa Melawan Kolonial: dari Batavia ke Lasem

- Raden Panji Margono, Sosok Pemersatu Pejuang Lasem Dan Peranakan Tionghoa

- Bersatunya Kaum Tionghoa Dan Para Pejuang Pribumi Lasem

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan