LAPSUS: Bersatunya Kaum Tionghoa dan Para Pejuang Pribumi Lasem


HIDUP RUKUN: Salah satu klenteng yang menjadi simbol kerukunan masyarakat Lasem dengan orang-orang keturunan Tionghoa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. (MerahPutih.com/Rizki Fitrianto)
SETELAH pembantaian masyarakat keturunan Tionghoa oleh kolonial Belanda, keadaan di Batavia pada akhir 1740 semakin mencekam.
Carita (Sejarah) untuk Lasem, gubahan Raden Panji Kamzah tahun 1858 yang disalin oleh Raden Panji Karsono tahun 1920 menyebutkan, pada tahun 1740 banyak sekali peranakan Tionghoa dari Batavia yang dikejar-kejar oleh kolonial Belanda mengungsi ke Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Dengan begitu, jumlah keturunan Tionghoa di Lasem pun naik dua kali lipat. Pada awalnya, warga Lasem itu hanya ada di bagian barat Lasem. Yakni dari Kampung Pereng sampai Kampung Soditan. Kemudian dengan datangnya Tionghoa baru (dari Batavia), mereka menempati tanah di daerah selatan Lasem (sekarang Karangturi).
Kedatangan mereka pun disambut oleh Adipati Lasem Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) yang mengizinkan para pendatang untuk membuka beberapa perkampungan baru.
Di sana, para keturunan Tionghoa membaur dengan masyarakat pribumi Lasem. Bahkan, mereka hidup dengan rukun. Di sana, masyarakat keturunan dan pribumi di Lasem diam-diam menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan terhadap kolonial Belanda.
Tibalah pada waktunya, yakni 1741-1742 para peranakan Tionghoa bersama masyarakat Lasem dan kelompok santri serta kiai merencanakan serangan ke kolonial Belanda di Semarang. Perlawanan tersebut kemudian dikenal dengan istilah Perang Kuning atau dalam bahasa Belanda disebut Geel Oorlog.
Melalui perintah Raden Mas Said di Kartosuro, warga Lasem mengangkat tiga pemimpin perang mereka. Ketiganya adalah Raden Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kee Wie.
Tiga pimpinan perang ini lantas menyebut para pejuang dari Lasem dengan nama Laskar Dampo Awang Lasem.
"Sebelum menyerang Semarang, Laskar Dampo Awang Lasem berhasil memukul mundur kolonial Belanda di Rembang," kata pemerhati sejarah Lasem Mathoya saat diwawancara MerahPutih.com di rumahnya di Lasem, pekan lalu.
Usai menguasai Rembang, pada 1742 pasukan dari Lasem ini ingin menaklukkan Jepara terlebih dulu. Sayangnya, mereka mendapatkan perlawanan sengit dari pasukan kolonial hingga akhirnya menderita kekalahan. Tak sampai di situ, pasukan Lasem begitu terpukul lantaran salah satu pemimpin perangnya gugur. Dia adalah Tan Kee Wie.
Perang di Rembang dan Jepara itu, kata Mathoya merupakan dampak dari Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740.
Sejatinya, perang antara Laskar Dampo Awang Lasem melawan kolonial di daerah Jawa Tengah ini berbarengan dengan pecahnya perang di wilayah lain di Jawa Timur periode 1741-1743. Perang ini dijuluki Perang Jawa. “Sejatinya, Perang Jawa adalah perang yang dikobarkan oleh masyarakat Lasem,” kata Mathoya. (*/Bersambung)
Baca Juga:
- Jejak Perjuangan Etnis Tionghoa Melawan Kolonial: dari Batavia ke Lasem
- Kisah Peranakan Tionghoa Juragan Bata Penentang Belanda
- Oei Ing Kiat, Peranakan Tionghoa yang Memimpin dengan Adil dan Mengayomi