Karya Seni 'Faith in Speculations' Bercerita Sejarah Kelam Indonesia
Kamis, 28 Juli 2022 -
SEJARAH Indonesia mempertontonkan berbagai kejadian dan peritiwa yang melambari kehidupan berbangsa. Kilas balik sejarah terkadang dibutuhkan sebagai pengingat momentum yang terkadang berisikan kekelaman. Ini yang kemudian diusung dalam karya seni bertajuk Faith in Speculations (FIS).
Karya seni kontemporer ini hadir dalam pameran seni Manifesto VIII: Transposisi. Pameran seni rupa ini diadakan dua tahun sekali dan tahun ini dengan mengusung konsep karya seni kontemporer. Para seniman menggabungkan kreativitas mereka dengan perkembangan teknologi. Menurut kurator pameran senin ini, Rizki A. Zaelani, penggunaan teknologi akan memberikan hasil yang berbeda antara seni serta seniman yang satu dengan lainnya.
Baca Juga:
Mengenal Dua Raksasa Sastra lewat "Pameran Gunung Api Jassin, Lahar Panas Chairil"

“Karya-karya dalam pameran ini akan menunjukkan kemajuan dan perkembangan tersebut dalam berbagai bentuk pendekatan dan cara pengungkapan yang berbeda-beda,” ungkap Rizki.
FIS merupakan karya seni yang berisikan narasi singkat tentang kisah kelam yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965. Bedanya, seluruh kisah di sini diceritakan langsung oleh mereka yang mengalaminya, Napsiyah Suwarno dan Ibu Marni. Selain mereka, ada sederet orang yang turut menceritakan kisahnya terkait dengan tragedi 1965. Diceritakan menggunakan bahasa awam membuat seluruh kisah ini terasa lebih dekat dan nyata.
Karya ini bisa dikunjungi langsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat atau secara daring melalui situs fis.1965.or.id. Seniman di balik karya seni ini adalah Rangga Purbaya, Sirin Farid Stevy, Debby Gea, dan Kurniawan Pujianto.
Meskipun memiliki tema utama kekelaman di tahun 1965, tetapi FIS turut menyajikan kisah-kisah lampau di tahun lainnya guna mendukung rasa sebab dan akibat dari peristiwa utama. Terdiri atas zaman penjajahan, kemerdekaan, pascakemerdekaan, dan masa kini. Rentangnya dimulai dari tahun 1918 hingga 2020.
“Tujuannya sebenarnya untuk bisa memberikan dampak dari peristiwa ini dalam skala ruang dan waktu,” jelas Rangga dalam press tour di Galeri Nasional, Selasa (26/7).
Baca Juga:

Seluruh kisah dalam karya seni FIS diceritakan dengan bahasa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Seperti nama karya seni ini, penikmat dan kontributor cerita sama-sama berspekulasi tentang apa yang terjadi saat itu menurut pandangan masing-masing.
Membaca kisah mereka ini membuat kita merasa turut ada di sana, merasakan perjuangan, dan kesakitan dari orang-orang yang mengalami insiden tersebut. Perpaduan warna hitam dalam peta dan merah sebagai penanda lokasi kejadian membuat karya seni ini terasa lebih mencekam
Pameran karya FIS secara luring juga tak kalah apiknya. Untaian panjang kain putih digantung mengelilingi gawai yang menampilkan peta lokasi tragedi 1965, seakan mengisyaratkan pusat dari karya ini. Kain-kain polos itu bersimbah cat berwarna hitam dan merah, di atasnya tertuang kisah-kisah tentang mereka yang jarang terdengar. Ada tujuh kain yang tergantung dan enam di antaranya berisi cerita singkat. Kisah ini dipilih dan diseleksi sebagai inti dari seluruh narasi yang ada dalam FIS dan mewakili beberapa generasi.
“Misalnya ini adalah generasi pertama, generasi penyintas langsung yang beliau survivor. Nah, kemudian ada generasi kedua yang orang tuanya adalah tahanan politik. Kemudian ada generasi pertama juga yang jadi tahanan politik dan ditahan di Pulau Buru. Kemudian, ini ada generasi keempat yang dia mendapatkan ceritanya dari kakeknya,” tutur Rangga sambil menunjuk setiap kisah dalam banner. (mcl)
Baca Juga:
Film Indonesia 'Autobiography' Berkompetisi di Venice Film Festival 2022