Hobi Tidur Terlalu Lama, Risiko Demensia Mengintai

Sabtu, 30 September 2017 - Dwi Astarini

BEBERAPA orang suka tidur lebih lama ketika akhir pekan. Biasanya, alasan yang dikemukakan ialah ingin mengompensasi jam tidur yang terpotong di hari kerja. Namun, hati-hati, tidur terlalu lama ternyata berisiko terkena demensia lo.

Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 46 juta orang yang menderita demensia. Jumlahnya diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2050. Berdasarkan sebuah studi terbaru yang diterbitkan di Journal of the American Academy of Neurology, seseorang yang tidur lama, yaitu lebih dari sembilan jam sehari, mungkin mengalami tanda awal dari demensia.

Demensia adalah istilah dari kumpulan beberapa gejala yang disebabkan perubahan yang terjadi di otak. Demensia juga sering disebut sebagai pikun. Gejala demensia meliputi gangguan daya ingat, kesulitan berpikir, kesulitan mengambil keputusan, gangguan berbahasa (sering kehilangan kata-kata), serta perubahan mood dan perilaku yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.

Sebuah penelitian yang dipimpin dr Sudha Seshadri, spesialis saraf di Universitas Boston, mengevaluasi data 2.457 laki-laki dan perempuan berusia rata-rata 72 tahun. Peserta diminta untuk memberikan informasi berupa durasi lamanya tidur malam setiap harinya. Tim ahli kemudian mengamati berapa banyak orang yang terkena demensia dalam periode 10 tahun berikutnya.

Secara keseluruhan, mereka yang tidur lebih dari sembilan jam sehari memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami demensia ketimbang mereka yang tidur selama sembilan jam atau kurang setiap harinya. Mereka juga melaporkan proses berpikir dan penyelesaian tugas yang lebih buruk serta memiliki volume otak yang lebih rendah.

Selain itu, peserta penelitian yang tidur lebih dari sembilan jam sehari dan tidak menyelesaikan pendidikan SMA punya risiko enam kali lebih besar untuk mengalami demensia jika dibandingkan dengan peserta yang tidur kurang dari sembilan jam. Hasil itu menunjukkan bahwa memiliki pendidikan lebih tinggi juga dapat mengurangi risiko terjadinya demensia.

Pasalnya, tingkat pendidikan seseorang bisa dikaitkan dengan status sosial-ekonomi seseorang. Nah, kesulitan ekonomi bisa membuat seseorang tidak punya akses terhadap informasi serta layanan kesehatan yang memadai. Hal itu akhirnya membuat seseorang lebih rentan terhadap demensia atau pikun.

Sementara itu, Dr Rosa Sancho, seorang peneliti penyakit Alzheimer di Inggris, menjelaskan bahwa meskipun perubahan pola tidur merupakan hal yang umum terjadi pada pasien demensia, penelitian itu menambahkan bukti pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perubahan pola tidur, yaitu tidur lama, bisa terlihat jauh terlebih dahulu sebelum gejala demensia muncul.

Gangguan pola tidur bisa muncul akibat penyusutan (atrofi) bagian otak yang berperan untuk mengatur siklus tidur manusia, atau juga dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan mood yang umum terjadi pada pasien demensia.(*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan