Hoax Pencungkilan Mata dan Pemotongan Kelamin Jendral Korban G30S

Minggu, 01 Oktober 2017 - Yudi Anugrah Nugroho

TUJUH hari selepas pengangkatan 6 jendral dan 1 kapten dari sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur, dan dilakukan autopsi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta Pusat, muncul berita mengenai rincian siksaan diterima para korban pada 1 Oktober 1965.

Berbagai surat kabar, terutama corong berita ABRI, secara tegas menuduh Gerwani, underbow PKI, sebagai pelaku keji pencungkilan mata dan memotong kemaluan jendral di Lubang Buaya.

“Para sukarelawati Gerwani telah mempermainkan para jendral dengan menarik kemaluan mereka dan mereka gosok-gosokan ke vagina mereka sendiri,” tulis harian Angkatan Bersendjata, 11 Oktober 1965.

Segendang-sepenarian, Berita Yudha Mingguan, pada hari serupa juga menurunkan berita tentang pemutilasian tubuh sang jenderal, “matanya dicungkil, beberapa jendral penisya dipotong”.

Sehari berselang, dengan mengutip berita harian Angkatan Bersendjata, koran Duta Masjarakat dengan sangat emosional menulis perbuatan Gerwani seperti upacara Kanibal suku-suku Primitif, serta menambahkan adegan tari telanjang di depan korban.

“... Bahkan menurut sumber yang dapat dipercaya, para Gerwani menari-nari telanjang bulat di depan korbannya, perilaku yang mengingatkan kita pada upacara kanibal yang dilakukan suku-suku primitf ratusan tahun yang lalu. Mari kita serahkan kepada kaum wanita untuk menilai betapa tidak bermoralnya para Gerwani, kebejatan moral yang lebih buruk daripada binatang,” tulis koran Duta Masjarakat, 12 Oktober 1965.

Berita-berita kekejian Gerwani, tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca-Kejatuhan PKI, terbit di beberapa koran antara 1 Oktober sampai bulan-bulan pertama tahun 1966, sebagai kampanye fitnah tentang keterlibatan para anggota Gerwani di Lubang Buaya.

Kampanye, lanjut Wieringa, mula-mula berjalan perlahan, lalu setapak demi setapak elemen baru dimunculkan dan semuanya mengarah pada tujuan agar publik percara pada kesimpulan komunisme, Gerwani, sangat bejat dan anti-agama.

“Dengan demikian tak heran masyarakat diberikan pemahaman bahwa pembasmian komunisme itu sudah semestinya, khususnya Gerwani dilenyapkan, sehingga dengan demikian masyarakat menjadi bersih dan ketertiban pun pulih,” tulis Wieringa.

Dampak berita tentang fitnah kekejaman Gerwani langsung disambut pembakaran kantor dan penangkapan para anggota Gerwani. Pada 12 Oktober 1965, kantor-kantor Gerwani dibakar, para demonstran kemudian meneriakan “bubarkan PKI, Hidup Bung Karno!” tulis Harian Angkatan Bersendjata, 13 Oktober 1965.

Fitnah tersebut sesungguhnya bisa dikonfrontasi dengan visum et repertum atau hasil autopsi kepada jenazah enam jendral dan satu kapten, ajudan Jendral AH Nasution. Benarkah ada pencukilan mata dan pemotongan kelamin.

Hasil visum sebagaimana dokumen tentang peristiwa 1965, memang tertutup untuk publik di masa pemerintahan Orde Baru.

Dokumen hasil visum kemudian sampai ke tangan Indonesianis Benedict Anderson asal Cornell University, Amerika Serikat. Dia lantas membuat publikasi berdasar dokumen visum tersebut bertajuk “How Did The Generals Die” terbit di Jurnal Indonesia, April 1987.

Ben Anderson, pada publikasnya, menyatakan bahkan tidak disebutkan luka serius pada testis, anus, mata, kuku, telinga, dan lidah. “Dengan demikian dapat dikatakan dengan pasti bahwa enam korban tewas akibat tembakan,” tulis Ben Anderson. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan