Hari Musik Nasional: Mencari Dewa Penolong Musisi di Era Digital

Sabtu, 09 Maret 2019 - Raden Yusuf Nayamenggala

DI tengah hantaman digitalisasi yang kian mendominasi. Para musisi di seluruh dunia pun harus memutar otak mereka demi meraih penghidupan.

Hal itu tentu harus dilakukan, jika tidak, maka akan perlahan-lahan pondasi kehidupan sebuah band atau penyanyi pun akan roboh. Dalam hal ini ialah soal finansial.

Lantas bagaimanakah caranya para musisi untuk bisa survive di tengah era digital yang kemajuannya sudah tak terbendung lagi?

Gitaris grup band /rif Noviar Rachmansyah atau yang akrab disapa Ovy memiliki pandangan tersendiri tentang cara bertahan di era digital. Bagi Ovy yang notabene telah lebih dari satu dekade berkiprah di industri musik tanah air. Ia mengaku sangat merasakan dampak yang luar biasa dari era digital ini.

Ovy /rif berbicara soal cara bertahan di era musik digital (Foto: Mp/Rizki Fitrianto)

"Mungkin kalau musisi yang memulai di era ini enggak terlalu merasakan. Tapi kalau musisi-musisi lama seperti /rif yang sudah dari 90-an, memang sangat berasa dampaknya" tutur Ovy dengan lugas.

Sang gitaris grup band /rif tersebut juga menambahkan "Di saat waktu itu kita dengan jelas mengetahui penjualan fisik dll, dan mendapat royalti yang jelas dari itu. Sekarang fisik juga engga bisa jalan kan, yang jalan dari digital.”

Namun di era digital saat ini, Ovy melihat ada satu sisi yang cukup negatif, yaitu dampaknya ialah pembajakan jadi semakin mudah. Karena semakin sulit para musisi menghitung penjualan yang tidak jelas. Semisal saja satu orang mendownload lagu secara ilegal, dan membagikan pada rekan-rekannya. itu merupakan salah satu contoh konkret pembajakan yang kian mudah dilakukan.

Tapi pria kelahiran 12 November 1966 itu tak hanya melihat dari sisi negatifnya saja. Karena ia pun melihat dampak positif, seperti halnya YouTube, yang masih bisa terhitung viewersnya. Tentu pencapaian viewers yang banyak bisa menjadi pemasukan bagi para musisi.

Suka tidak suka, Ovy pun mengaku harus mengikuti era digital yang tengah berkembang sangat pesat. Karena dari situlah saat ini wadah yang pas untuk mempopulerkan satu karya yang baru.

Sebagai musisi dari era 90an, Ovy mengaku belum mengetahui seberapa besar manfaat dan dampak platform musik digital untuk para musisi saat ini. Dia pun mengaku belum pernah merasakan pendapatan dari platform musik digital yang tengah hapening dikalangan millennials tersebut. "Mungkin untuk musisi seperti saya belum bisa merasakan dari situ. karena mungkin kita belum mencapai penjualan besar dari situ Jadi belum berasa juga, tapi enggak tau kalau yang penjualannya booming lewat platform itu mungkin bisa jadi" kata Ovy.

Lantas dari mana pemasukan terbesar dalam berkarier di industri musik di era digital?

“Bukan dari platform digital ataupun media sosial,” kata dia. “Penghasilan terbesar bersama grup band /rif masih dari panggung,” imbuh Ovy. Meski enggan merinci berapa pendapatan yang didapat dari panggung-ke pangggung, Ovy mengaku bahwa cara itu masih mendatangkan pundi-pundi pemasukan yang paling besar.

Penjualan merchandise yang dianggap cukup membantu pemasukan bagi sebuah grup band, ternyata menurut Ovy juga tidak dirasakan cukup signifikan. “Kalau merchandise kita enggak pegang langsung. Itu dikerjakan oleh fans atau kru. Kami cuma ibaratnya lebih ke quality control, mesti persetujuan dulu sama kami. Misal soal desain, bahan dan lainnya. Karena mereka yang bikin untungnya buat mereka juga, kecuali yang official" papar Ovy.

Apa album fisik masih bisa survive di era digital ini?

Di tengah terpaan era digital. Perlahan tapi pasti album fisik mulai 'punah'. Karena itu Ovy mengaku harus benar-benar lebih mencari panggung. Karena baginya saat ini sudah tak ada lagi penjualan album fisik berjuta-juta kopi, yang istilahnya biarpun tak manggung, tapi band tetap mendapat bayaran yang lumayan jika album meledak.

Namun Ovy juga tak menampik jika masih ada cara untuk menyisati penjualan album fisik. Tapi dengan syarat harus memiliki banyak fans yang loyal ataupun fanatik.

Ovy menjelaskan, bagi para fans yang loyal atau fanatik, mempunyai wujud fisik merupakan suatu pride bagi mereka. Salah satunya ialah mengemas album dengan lebih unik dengan boxset, merchandise, piringan hitam dan sebagainya. Karena Ovy menyadari jika hanya mejual cd biasa saja akan sangat sulit.

Masih efektifkah label rekaman di era digital?

Untuk peran label rekaman di era digital ini. Menurut Ovy msih sangat kurang. Karena beberapa tahun terakhir dirinya merasa fungsi label sudah tergeser dengan media sosial.

Saat ini grup band /rif pun tak punya label. Ovy beralasan karena pihak label yang masih menuntut namun fungsinya berkurang. Hingga ia bersama rekan-rekannya pun memilih tanpa label.

Dengan begitu, /Rif lebih bebas tak dituntut untuk karya yang harus seperti ini itu, seperti halnya jika bergabung dengan label.

"Misal kalau kita bikin 5 lagu pasti yang diambil 2 atau 3, yang lain pasti minta bikin yang kaya gini lah kaya gitu lah. Padahal kerja label sekarang mulai tergeser dengan media sosial itu. Akhirnya mendingan bebas aja engga sama label, mending kami lewat sosial media" ujarnya.

Band Viscral
Viscral (ist)

Sementara itu, MerahPutih.com juga mewawancarai Eggi Praja yang merupakan vokalis band underground: Viscral. Menurutnya kondisi serupa juga dirasakan band Viscral. Menurut Eggi, pendapatan terbesar yang didapatkan bandnya adalah dari panggung. Kata dia meski sekarang masuk ke era digital, platform tersebut belum bisa mengihidupi para musisi, khususnya di jalur underground.

Berapa pendapatan Viscral dari aplikasi streaming?

Untuk sekarang karya Viscral bisa didapatkan di aplikasi iTunes dan Spotify. Namun dari dua aplikasi tersebut Viscral hanya mendapatkan bagian dari royalty. Di aplikasi Spotify, Viscral mendapat royalty sebesar USD 0,0038 per klik. Bila dirupiahkan hanya sebesar Rp 53. “Lebih sedikit daripada kita memberi uang ke pengamen jalanan,” ujarnya.

Karenanya, dia dan personel bandnya tidak begitu banyak berharap menangguk untung banyak dari aplikasi streaming yang kini sedang menjamur.

Lantas bagaimana mensiasati aplikasi streaming sekarang?

Meski mendapat angka sangat minim, Viscral tidak alergi dengan platform digital. Menurut Eggi, Viscral justru memanfaatkan aplikasi streaming untuk memromosikan lagu-lagu terbaru mereka. “Kami memanfaatkan Spotify saat hendak merilis album baru,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai jurnalis tersebut.

Nah, sebelum merilis album terbaru, Viscral akan “melempar” satu single andalan dalam album tersebut ke aplikasi straming. Tujuannya agar penggemar tahu lagu terbaru di album anyar. Baru, mereka memasarkan rilisan album fisik berbentuk CD. Nah, jika sudah terjual setengah dari jumlah album fisik, Viscral kembali “melempar” beberapa lagu-lagu lainnya di Spotify. Tapi tidak semua lagu. Sekali lagi, tujuannya hanya untuk kepentingan promosi.

Menurutnya pendapatan terbesar dari bandnya masih berasal dari panggung. “Kalau diperingkat terbesar dari panggung, merchandise, album fisik (CD) dan yang terakhir dari aplikasi streaming,” kata pria asal Bekasi tersebut.

Menimbang Layanan Putar lagu Digital

Penyanyi perempuan paling berpengaruh Taylor Swift pernah berang lantaran seluruh lagu di album terbaru bertajuk 1989 pada tahun 2014 silam bisa dinikmati secara cuma-cuma alias gratis di platform Spotify. Ia pun berekasi melalui label, Big Machine, menarik seluruh katalog lagunya dari layanan putar lagu digital asal Swedia tersebut.

"Musik adalah seni, dan seni itu penting dan langka. Yang penting dan langka itu sangat berharga dan harus dibayar," kata pelantun tembang 'Delicate' dikutip Wall Street Journal.

Keputusan penyanyi bernama lengkap Taylor Alison Swift berpisah dengan Spotify menggemparkan jagat indutsri musik digital. Kemunculan layanan putar lagu digital kemudian tak lagi digadang-gadang menjadi dewa penolong bagi para musisi di era digital.

Tak cuma Swift, beberapa musisi kenamaan pun merasa hanya beroleh pendapatan sangat sedikit dari Spotify, sementara lagunya sering diputar. "Dibayar £ 8 untuk 90.000 putar. Persetan Spotify!" cicit musikus asal Inggris, Jon Hopkins, pada akun resmi Twitter @Jon_Hopkins_.

Tak kalah hebat, pemusik dan penulis lagu Thom Yorke, Radiohead, pernah mencerca hubungan tak sepadan musisi dengan Spotify. Ia bahkan secara tegas mengajak para musisi untuk melawan platform buatan Daniel EK.

Yorke beranggapan jalinan Spotify dengan industri rekaman bak "Kentut terakhir dari mayat sekarat".

Pernyataan Yorke, menurut jurnalis Rolling Stone, Tim Ingham, tak sepenuhnya benar sebab industri musik belum 'mati' dan menjadi 'mayat' kemudian di saat bersamaan pula basis pengguna Spotify telah tumbuh pesat. Hingga kuartal ketiga 2018 jumlah pelanggan berbayar Spotify mencapai 87 juta. Sedangkan pelanggan non-berbayar adalah 191 juta.

Bagaimana sih sistem pembayaran Spotify pada para musisi?

Pembayaran royalti Spotify bergantung pada ketenaran artis atau musisi. Lumrahnya, terbagi 70 persen kepada pemegang hak cipta sementara 30 persen untuk Spotify.

Pihak Spotify membagi tiap artis ke dalam beberapa tingkat kepopuleran lagu. Paling besar sudah pasti diterima musisi bercap 'Global Hit Album' dengan pendapatan sekira 425 ribu dolar sebulan.

Menyusul di bawah, kategori 'Spotify Top 10 Album' dengan raihan sekira 145 ribu dolar, lalu kategori 'Indie Album' nan hanya meraup 3.300 dolar. Pengkategorian tersebut tentu hanya menguntungkan musisi bercap 'Global Hit Album'.

Pandangan pengamat musik Mudya Mustamin tentang musik di era digital (Foto: Mp/Rizki Fitrianto)

Di sisi lain, pengamat musik Mudya Mustamin melihat dunia digital justru menciptakan banyak peluang. Terutama untuk mempromosikan karya para musisi.

“Sekarang musisi bisa memanfaatkan di era digital untuk berpromo di situ. Ngga tergantung lagi sama label,” ucap Mudya saat ditemui merahputih.com dikawasan Gading Serpong, Tangerang.

Mudya juga menambahkan, terlebih lagi jika si musisi memiliki banyak teman. Hal itu akan sangat berguna untuk saling sharing di facebook, instagram, twitter ataupun YouTube. Semakin banyak saluran maka akan semakin efektif promosi itu sendiri, serta orangorang bisa lebih kreatif.

Menurut Mudya, di era digital, musisi sudah dipermudah. Seperti contoh rekaman tak harus ke studio rekaman dan tak harus bayar. Hanya dengan software rekaman sendiri, sudah bisa mehasilkan suatu karya. Hal itu berlaku dikalangan indie, karena mereka dapat menciptakan lagu hanya dalam sehari dua hari, dan langsung bisa dirilis. Berbeda dengan jaman dahulu, yang sangat tak mungkin melakukan itu.

>(video: YouTube/merahputih.com)

Nah, bagaimana musisi harus bersiasat bertahan dalam finansial?

Mudya menuturkan, segi finansial tak luput dari materi atau karya yang dihasilkan. Istilahnya: konten adalah raja. Karena baginya meski banyak promo tapi bahan yang dijual tak enak maka akan sulit juga.

Sementara itu baginya yang lebih konkret ialah mengejar panggung dengan cara memperluas link dan koneksi. Namun tak lepas pula dari lagu, jika lagunya enak maka akan bisa lebih mudah diterima oleh banyak orang.

Platform digital belum efektif dari segi finansial?

Menurut Mudya, platform digital memang belum efektif untuk mendukung finansial para musisi. Namun digital bisa dimanfaatkan agar musisi bisa mendapatkan kesempatan akses dari panggung ke panggung. Mengapa demikian? Karena dari platform musik digital membuat orang lain bisa lebih mudah mengakses lagu musisi tersebut. Jika pasarnya sudah terbentuk dan banyak orang yang menyukai dan menikmati karyanya, pasti musisi tersebut akan memperoleh akses ke panggung.

Platform digital sangat mempersingkat proses penyampaian lagu ke otak atau ingatan pendengarnya, tanpa harus pergi ke toko CD. “Sebenarnya itu merupakan sebuah keuntungan bagi musisi,” ujarnya.

Bagaimana dengan fenomena maraknya musisik kembali membuat rilisan album fisik dengan format eksklusif?

Mudya sangat mengapresasi para musisi yang mulai untuk bergerak ke arah penjualan fisik dengan format eksklusif. Misalnya dengan penjualan boxset. Yang dikemas menarik dan tak hanya berisi CD. Tapi juga berisi berbagai macam merchandise dan karya-karya lainnya dari musisi tersebut.

Album dalam bentuk boxet akan sangat menarik untuk dikoleksi para penggemarnya. Sebab, penggemar akan mendapatkan sesuatu yang spesial dari musisi idolanya. “Kalau musisi hanya merilis album dalam bentuk packaging standar, maka orang-orang pasti lebih memilih versi digital saja. Sebab tak ada sesuatu spesial yang bisa didapat dari situ,” ujar Mudya yang juga manager band Cokelat itu.

Namun bagi Mudya penjualan fisik berformat eksklusif lebih efektif pada musisi di indie ketimbang musisi mainstream. Hal itu lantaran perbedaan tipe fans

“Kalau musik mainstream orang lebih ingin denger lagu digitalnya atau mungkin konsernya, dia engga merasa perlu CDnya,” kata dia.

Lain halnya dengan musisi indie. Mereka biasanya memiliki fans yang sangat loyal. “Kalau ngeluarin CD orang bener-bener masih beli. Fans musisi indie emang tujuannya sih rata-rata membeli boxset untuk koleksi. Apalagi yang sudah punya fans besar atau fanatik" lanjutnya. (ryn)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan