DPR RI Minta Penentuan Rendemen Tebu Transparan
Selasa, 13 Januari 2015 -
Merahputih Nasional - Tidak sedikit petani tebu di sejumlah daerah mengalami kerugian sampai belasan juta rupiah. Kerugian yang dialami petani tebuh akibat tidak adanya mekanisme penentuan rendemen itu membuat Anggota DPR RI geram. Anggota Komisi VI DPR RI, M. Sarmuji adalah salah satu contohnya. Menurut Sarmuji, agar petani tebu tidak mengalami kerugian maka diperlukan suatu alat yang bisa membuat penentuan rendemen lebih transparan.
"Jadi petani mengetahui secara persis berapa rendemen tebu yang dihasilkan dari kebunnya. Kalau ada alat seperti itu, dan itu sebenarnya sudah mulai ada, cuma hanya diterapkan sangat kecil oleh pabrik gula," kata Sarmuji di kompleks parlemen DPR RI, Jakarta, Selasa (13/1).
Menurut Sarmuji, apabila ada alat yang bisa membuat mekanisme penentuan rendemen maka hal itu akan mendorong petani tebu untuk mencari tahu suatu metode agar menghasilkan tebu yang memiliki rendemen tersendiri. Apalagi, kata Sarmuji, saat ini sudah mulai bermunculan kecurigaan petani tebuh kepada pabrik gula.
"Ini jangan-jangan ada kongkalikong atau permainan penentuan randemen itu," katanya.
BACA JUGA: Rugi Belasan Juta Rupiah, Petani Tebu Mengadu ke DPR RI
Selain masalah rendemen, Sarmuji yang juga mantan Sekjen AMPG in menyoroti soal membanjirnya gula impor, terutama gula rafinasi yang merembes pada pasar-pasar konsumen. Dikatakannya, gula impor rafinasi itu dipergunakan untuk industri makanan dan minuman alias bukan untuk konsumsi rumah tangga.
"Kemarin Kemendag (Kementerian Perdagangan) mengakui ada 11 persen lebih gula rafinasi merembes ke rumah tangga. Itu yang diakui. Kalau 11 itu diaku benar, itu berarti proses penentuan kouta selama ini berlebih," punkasnya.
Lebih lanjut, politisi dari Fraksi Partai Golkar ini mengatakan bahwa gula impor rafinasi selama ini juga membuat harga gula dalam negeri menjadi babak belur dan jeblok. Maka dari itu, Sarmuji meminta agar pemerintah membatasi impor gula dengan ketat. Kalau perlu, kata dia, pemerintah harus melakukan moratorium dalam waktu tertentu. Jika harga gula dalam negeri sudah normal kembali barulah pemerintah kembali membuka ruang impor gula dalam ukuran yang wajar dan benar.
"Kalau sekarang ini karena kelebihan gulanya itu diduga banyak sekali pertahun. Itu 11 persen lebih, kalau beberapa tahun berapa itu kelebihannya. Kalau 3 tahun saja sudah 33 persen dari kebutuhan. itu berapa juta ton," katanya. (Hur)
Follow Twitter Kami di @MerahPutihCom
Like Juga Fanpage Kami di MerahPutihCom
Berita Lain: