DPR Minta 80 Kursi Kelas Bisnis untuk Ibadah Haji, KPK Ingatkan Potensi Gratifikasi

Kamis, 15 Juni 2023 - Andika Pratama

MerahPutih.com - DPR RI kembali menjadi sorotan publik lantaran meminta Garuda Indonesia menyiapkan 80 kursi kelas bisnis bagi legislator Senayan yang akan menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.

Menanggapi itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan anggota dewan agar menyadari posisinya sebagai pejabat publik dan memastikan permintaan tersebut tidak terkait dengan gratifikasi.

Baca Juga

KPK Periksa Mentan Syahrul Yasin Limpo Besok

Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, penerimaan gratifikasi oleh anggota DPR bisa memicu konflik kepentingan sehingga memengaruhi kinerja, pengambilan kebijakan, dan pelayanan publik.

“Jika hal ini terjadi maka pihak yang paling dirugikan tentunya adalah masyarakat,” kata Ali dalam keterangannya, Kamis (15/6).

Karena itu, Ali mengingatkan para legislator untuk mencegah terjadinya penerimaan gratifikasi pada momentum pelaksanaan ibadah haji.

“Sebab, daftar antrean keberangkatan haji yang lama bisa membuat kesempatan seperti ini disalahgunakan dengan cara-cara yang melanggar ketentuan dan prosedur,” ujarnya.

Baca Juga

DPR Minta Pemda Beri Perhatian Khusus terhadap Akses Jalan Buruk ke Sekolah

Sebelumnya, pada 2019 KPK pernah melakukan kajian terhadap titik-titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan haji di Indonesia.

Dari hasil kajian ditemukan bahwa modus korupsi yang kerap dilakukan, yakni mark up biaya akomodasi, penginapan, konsumsi, dan pengawasan haji.

“KPK telah memberikan rekomendasi kepada Badan Penyelenggara Keuangan Haji (BPKH) untuk melakukan perbaikan agar titik rawan korupsi bisa ditutup,” jelas Ali.

Ali menambahkan, penerimaan fasilitas transportasi atau tiket perjalanan merupakan bagian dari gratifikasi. Ketentuan itu termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara termasuk anggota DPR dapat dianggap sebagai suap dan memiliki konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 12B.

“Gratifikasi yang diberikan kepada penyelenggara negara dapat dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,” tutup Ali. (Pon)

Baca Juga

Garuda Indonesia Diminta Kaji Ulang Dampak Penerapan Efisiensi Penerbangan Lokal

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan