Diketahui Endemis Papua dan Flores, Kasus Malaria Ovale Ditemukan di Langkat
Senin, 30 Oktober 2017 -
MerahPutih.com - Baru-baru ini, kasus malaria ovale yang disebabkan Plasmodium ovale ditemukan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Padahal, sejak 1975 dilaporkan hanya dua daerah yang menjadi endemis penyebaran nyamuk Anopheles betina yang menjadi vektor penyebab penyakit itu, yakni di Papua dan wilayah Belu di Flores timur atau Sunda Kecil.
Pernyataan itu disampaikan Umar Zein saat gelaran orasi ilmiahnya bertajuk Malaia dari Era Misterius hingga Biomolekuler, Senin (30/10). Kegiatan ini sekaligus perayaan Milad ke-52 tahun Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU), di UISU, Jalan STM, Medan.
"Kita menemukan satu kasus di Kabupaten Langkat yang setelah diteliti dan diidentifikasi sebagai Plasmodium ovale. Dengan penemuan ini, peta endemik malaria ovale atau malaria tertiana di Indonesia sudah bertambah. Sejak 1975 baru ini ditemukan, sebagai daerah ketiga di Indonesia," ungkapnya.
Awalnya, penelitian dilakukan bersama mahasiswa FK UISU pada 2016. Lalu ditemukan pasien penderitanya. Ia kemudian mengumpulkan sampel darah dan setelah dideteksi ternyata ditemukan indikasi penyakit malaria yang tidak diduga sama sekali.
Namun, butuh waktu yang panjang mengidentifikasi sampel tersebut dan dikonfirmasi ke bagian Parasitologi FK Universitas Brawijaya dan akhirnya kemudian dipublikasikan pada 2017 melalui tulisan internasional.
"Lokasi endemisnya di Kecamatan Koala Langkat. Penelitian akan kita lanjutkan lagi sejauh mana penyebaran penyakit itu di wilayah tersebut," jelasnya.
Saat disinggung apakah pasien pernah ke dua wilayah endemis lainnya dan digigit nyamuk anopheles betina di sana, ia mengaku pasien merupakan penduduk asli Langkat dan tidak pernah ke Papua ataupun Flores.
"Dia tidak pernah keluar sampai kedua endemis sebelumnya, jadi tidak mungkin tertular dari sana. Penanganan malaria jenis ini sama dengan malaria lain, namun ovale ini bisa berulang dan kambuh lagi suatu saat," terangnya.
Malaria ovale, sambungnya, umumnya lebih ringan tetapi bisa bertahan lama dan berulang-ulang muncul. Jika satu orang terinfeksi, bisa saja dua tahun kemudian kambuh lagi meskipun tidak digigit nyamuk anopheles betina sebagai vektornya.
Ia menyebutkan, malaria ovale ditandai dengan demam muncul setiap empat hari. Namun, pembagian diagnosis berdasarkan gambaran demam sudah tidak relevan secara klinis karena diagnosis malaria harus berdasarkan hasli pemeriksaan mikroskopis dan bila perlu diperkuat pemeriksaan molekuler.
Rektor UISU Asaad mengapresiasi penemuan endemis terbaru untuk penyakit tropius tersebut dan segera ditindaklanjuti oleh tim peneliti. Menurutnya, hasil penelitian ini bisa mempercepat FK UISU mencapai akreditas B. Ia berharap dengan banyaknya dosen yang melakukan hal sama dapat menjadikan kampusnya menjadi research university.
"Saya harap semangat meneliti bisa menular ke dosen-dosen lain. Semoga sebelum 2042, kita bisa menjadi research university," harapnya.
Dekan FK UISU Abdul Harris Pane menambahkan, penemuan malaria ovale di Langkat masih temuan awal, ke depannya pihaknya akan membentuk tim. Ia berharap FK UISU menjadi pusat penelitian penyakit tropis di wilayah barat.
"Kalau untuk daerah timur ada Universitas Udayana Bali, Univesitas Brawijaya. Kita ingin mengembangkan FK UISU seiring dengan tujuan menjadi research university," pungkasnya. (*)
Berita ini merupakan laporan dari Amsal Chaniago, kontributor merahputih.com untuk wilayah Medan dan sekitarnya. Baca juga berita lainnya dalam artikel: Tim Peneliti FK UISU Keluarkan Cacing Pita 2,86 Meter dalam Tubuh Manusia