'Degayu: Againts the Shore', Gambaran Krisis Iklim Ditayangkan di COP28

Selasa, 12 Desember 2023 - P Suryo R

PERHELATAN World Climate Action Summit (WCAS) COP28 menempatkan Indonesia sebagai salah satu pertisipannya.

Dalam rangkaian kegiatan ini, Presiden Jokowi menyampaikan, upaya Indonesia untuk mencapai target net carbon sink atau penyerapan karbon bersih sektor kehutanan dan lahan di tahun 2030, melalui langkah yang sistematis dan inovatif.

Baca Juga:

Agnez Mo Tampil Memukau dengan Batik Biru di Acara COP28 di Dubai

degayu
Poster penayangan film dokumenter 'Degayu: Against the Shore' di Konferensi PBB COP28 UNFCCC, di Dubai, Uni Emirat Arab (ANTARA/HO-Instagram@climaterealityina)

Keterlibatan Indonesia tidak sebatas kiprah pemerintah. Lebih dari itu, Indonesia menunjukan keseriusan menangani krisis iklim dengan berbagai media.

Dilansir dari laman Antara (12/12), seperti salah satunya adalah penayangan film dokumenter berjudul Degayu: Againts the Shore.

Film ini mencuri perhatian di antara banyaknya kegiatan di COP28 UNFCCC, konferensi PBB untuk perubahan iklim yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab.

Film berdurasi 25 menit itu menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengantarnya dengan subtitle Bahasa Inggris. FIlm dokumenter ini bercerita tentang komunitas pesisir di kelurahan Degayu, Pekalongan, Jawa Tengah.

Permukiman di daerah itu sudah terendam air sejak 2017. Menurut prediksi ilmiah maka pada tahun 2035 akan menjadi daerah 'mata'. Ini disebabkan daerah itu perlahan tenggelam karena naiknya permukaan laut dan penurunan tanah.

Film itu menggambarkan betapa dahsyatnya krisis iklim yang terjadi. Kenaikan permukaan laut, banjir, dan kekeringan merusak ekosistem. Kemudian menghantam penduduk paling miskin dan rentan. Terutama di pulau-pulau kecil, daerah pesisir, kota-kota besar, dan pegunungan tinggi.

Film ini mengambil sudut pandang krisis iklim dari mata masyarakat Degayu yang berjuang menyelamatkan kehidupan mereka. Termasuk beradaptasi dengan keadaan, dan membuktikan bahwa mereka dapat membangun daya tahan menghadapi krisis iklim.

Degayu adalah cermin tantangan yang harus dihadapi area pantai di seluruh dunia. Ini merupakan bukti nyata yang memperkuat perlunya pendanaan untuk mengatasi kerugian dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim.

Film itu menggugah penonton yang memang memahami krisis iklim. Namun film ini mempertontonkan kedahsyatan situasi dan kondisi yang sesungguhnya.

Baca Juga:

Aksi K-Popers di COP28, Tolak Greenwashing Fesyen Mewah

jokowi
Presiden Joko Widodo menyampaikan kuliah umum di Universitas Standford, San Francisco, pada pertengah November 2023. (ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden)

Film ini dinilai membuka mata terhadap tantangan yang akan dihadapi di masa depan jika kondisi ini tidak segera berubah.

Diproduksi oleh ClimArt, gerakan Youth Climate Reality Leaders, film ini merupakan gabungan seni dan aksi iklim yang menargetkan hati masyarakat, khususnya generasi muda.

Ahsania AR Aghnetta, sutradara film ini menghadirkan perspektif baru pada penyampaian isu krisis iklim. Harapannya adalah para pembuat film dan aktivis seni menggunakan kreativitasnya untuk menyuarakan penderitaan komunitas yang tertutup oleh hingar-bingarnya dunia.

Dengan pendekatan dokumenter ekspositori dan poetik, film berusaha menyajikan kesatuan fakta dan emosi, yang diperkaya dengan soundtrack orisinal ciptaan pemuda lokal di Pekalongan. Ini kemudian yang dinilai menambah nuansa emosional dalam menghadapi krisis iklim.

Selain di Paviliun Indonesia, film juga ditonton dan didiskusikan di Monash Pavilion, Civil Society Hub, serta acara gabungan YOUNGO (konstituensi pemuda untuk UNFCCC), ICLEI, dan Care About Climate.

Kegiatan pemutaran film dan diskusi Degayu: Against the Shore di COP28 Dubai, didukung oleh PT Pertamina (Persero).

Pada pembukaan Konferensi Perubahan Iklim PBB di Dubai, para delegasi sepakat untuk secara formal membentuk dana untuk kerugian dan kerusakan (loss and damage fund).

Dana ini bertujuan memberikan dukungan kepada negara-negara yang sangat terdampak oleh perubahan iklim. Negara-negara berkembang, yang kontribusinya terhadap krisis iklim sangat minim, saat ini menghadapi efek paling destruktif berupa banjir, kekeringan, dan naiknya permukaan laut. (*)

Baca Juga:

Luhut: Pendanaan Iklim Yang Minta Pengembalian Modal Bebani Negara Berkembang

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan