Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Denny JA Sama-Sama Berpengaruh di Mata AI
Senin, 03 Februari 2025 -
MerahPutih.com - Analisis berbasis kecerdasan buatan (AI) yang melibatkan aplikasi ChatGPT 4.0, Gemini 2.0, Perplexity, dan DeepSeek, mengungkapkan bahwa pengaruh dalam dunia sastra Indonesia yang dibawa Denny JA sama besar dan panjang dengan Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono.
Masing-masing nama tersebut meninggalkan jejak yang berbeda dalam sastra Indonesia. Disimpulkan AI bahwa ketiganya memiliki pengaruh yang sebanding dalam lintasan sejarah sastra, namun dalam corak dan cara yang berbeda.
“Chairil Anwar adalah ikon revolusi sastra, Sapardi Djoko Damono adalah penjaga keindahan, sedangkan Denny JA adalah arsitek dan pembangun ekosistem sastra,” ujar pembuat analisis ini Dr. Satrio Arismunandar.
Menurut AI, Chairil Anwar merombak konvensi sastra Indonesia dengan gaya yang lebih bebas dan padat. Puisinya, seperti Aku, menjadi manifestasi keberanian dalam menantang nasib dan kemapanan.
“Pengaruh Chairil ada dalam gaya dan semangatnya. Ia menginspirasi generasi penyair setelahnya untuk menulis dengan lebih bebas dan ekspresif,” imbuh Satrio.
Baca juga:
Kemudian, AI mengenali Sapardi Djoko Damono sebagai penyair yang merayakan kesederhanaan dan kedalaman emosi dalam metafora yang halus. Puisinya, seperti Hujan Bulan Juni, telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif bangsa.
“Sapardi adalah suara sunyi dalam sastra Indonesia,” jelas Satrio. “Ia mengajarkan bahwa kata-kata yang lembut bisa lebih tajam dari teriakan, dan dalam keheningan terdapat kedalaman,” sambungnya.
AI mendeteksi bahwa puisi Sapardi sering digunakan dalam momen reflektif, dari pernikahan hingga perpisahan, menunjukkan daya tarik universal yang tetap relevan sepanjang zaman.
Baca juga:
Denny JA Foundation Hibahkan Dana Abadi Peghargaan Tahunan untuk Penulis
Sementara, Denny JA dipandang oleh AI sebagai tokoh yang mengubah sastra menjadi gerakan yang berkelanjutan. Kontribusinya dalam dunia sastra Indonesia termasuk melahirkan genre baru (puisi esai), membangun komunitas sastra, hingga menyediakan dana abadi bagi penghargaan sastra.
“Denny JA tidak hanya berkarya seperti Chairil dan Sapardi, tetapi juga membangun sistem yang memungkinkan sastra bertahan dan berkembang,” ujar Satrio. “Penghargaan sastra dengan dukungan finansial adalah fondasi yang memastikan sastra tetap hidup dalam jangka panjang,” tambahnya.
Lebih lanjut Satrio menyimpulkan bahwa perbedaan ini bukan hierarki melainkan komplementer. “Chairil dan Sapardi menciptakan warisan dalam bentuk karya, sedangkan Denny JA membangun ekosistem yang memungkinkan sastra terus berkembang,” pungkasnya. (*)