Berapakah Suhu Bumi di Zaman Es?
Jumat, 28 Agustus 2020 -
BUMI menyimpan banyak rahasia menarik yang tak diketahui manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Salah satunya adalah adanya Zaman Es. Sebagai manusia yang hidup di masa sekarang dengan temperatur normal, kita tentu dibuat penasaran sedingin apakah bumi di masa lalu?
Sebuah tim yang dipimpin Universitas Arizona telah memastikan suhu zaman es terakhir - Maksimum Glasial Terakhir 20.000 tahun lalu — menjadi sekitar 46 derajat Fahrenheit (7,8 C).
Baca juga:
Dibayar Rp14 Juta untuk Berkemah dan Meninggalkan Internet, Berminat?
Temuan mereka memungkinkan para ilmuwan iklim untuk lebih memahami hubungan antara peningkatan tingkat karbon dioksida di atmosfer, gas rumah kaca utama, dan suhu global rata-rata.

Glasial Maksimum Terakhir adalah periode dingin ketika gletser besar menutupi sekitar setengah dari Amerika Utara, Eropa dan Amerika Selatan dan banyak bagian Asia. Namun di masa itu, flora dan fauna dapat beradaptasi dengan dingin serta tumbuh subur.
"Kami memiliki banyak data tentang periode waktu ini karena telah dipelajari begitu lama," ujar Jessica Tierney, profesor di Universitas Arizona Departemen Geosains. "Tapi satu pertanyaan yang sudah lama ingin dijawab sains adalah sederhana yakni seberapa dingin zaman es?"
Baca juga:
Tierney dan timnya menemukan bahwa suhu global rata-rata zaman es adalah 6 derajat Celcius (11 F) lebih dingin daripada hari ini. Untuk konteksnya, suhu global rata-rata abad ke-20 adalah 14 derajat Celcius (57 F).
"Ini adalah perubahan besar," kata Tierney. Dia dan timnya juga membuat peta untuk menggambarkan bagaimana perbedaan suhu bervariasi di kawasan tertentu di seluruh dunia.

"Di Amerika Utara dan Eropa, bagian paling utara tertutup es dan sangat dingin. Bahkan di Arizona, ada pendinginan besar. Tetapi pendinginan terbesar terjadi di lintang tinggi, seperti Kutub Utara, di mana suhunya sekitar 14 C (25 F) lebih dingin dari hari ini," urainya.
Temuan mereka sesuai dengan pemahaman ilmiah tentang bagaimana kutub Bumi bereaksi terhadap perubahan suhu.
"Model iklim memprediksi bahwa garis lintang tinggi akan menjadi lebih hangat, lebih cepat daripada garis lintang rendah," tutur Tierney.
"Ketika kamu melihat proyeksi masa depan, itu menjadi sangat hangat di Arktik. Itu disebut sebagai amplifikasi kutub. Demikian pula, selama Glasial Maksimum Terakhir kami menemukan pola sebaliknya. Lintang yang lebih tinggi hanya lebih sensitif terhadap perubahan iklim dan akan tetap demikian di masa mendatang," paparnya. (Avia)
Baca juga: