Akui Sebabkan Jatuhnya Pesawat Lion Air dan Ethiopian Airlines, Boeing Berpotensi Didenda Rp 7,9 Triliun

Selasa, 09 Juli 2024 - Angga Yudha Pratama

MerahPutih.com - Boeing baru saja mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Produsen pesawat terbang itu mengakui kesalahan hingga menyebabkan kecelakaan Lion Air pada 2018 dan Ethiopian Airlines pada 2019. Hal ini terungkap dalam dokumen pengadilan dimana Boeing mengaku bersalah atas penipuan.

Boeing lantas sudah mencapai kesepakatan dengan Departemen Kehakiman AS atas dua kecelakaan fatal Boeing 737 MAX tersebut. Dokumen pengadilan yang dimohonkan di Texas pada Minggu (7/7) waktu setempat mengatakan, Boeing mengaku bersalah atas konspirasi untuk menipu Amerika Serikat sepanjang sertifikasi pesawat MAX.

"Kami telah mencapai kesepakatan prinsip mengenai ketentuan resolusi dengan Departemen Kehakiman, tergantung pada memorialisasi dan persetujuan ketentuan tertentu," kata Boeing dalam sebuah pernyataan dilansir dari kantor berita Reuters pada Selasa (9/7).

Boeing mengakui mengecoh Federal Aviation Administration (FAA) selama proses sertifikasi pesawat. Investigasi mengungkap adanya cacat desain pada sistem auto-pilot. Boeing telah mengakui bertanggung jawab atas kecelakaan fatal tersebut.

Baca juga:

Suntik dana USD 8,3 Miliar, Boeing Akuisisi Spirit AeroSystems

"Dan karyawannya yang menyembunyikan informasi tentang cacat desain dari FAA selama sertifikasi," tulis laporan itu.

Kini, Boeing terancam denda sebesar US$487 juta atau Rp7,9 triliun (asumsi kurs Rp16.270 per dolar AS) terkait dengan dua kecelakaan pesawat Boeing 737 Max di perairan Karawang pada 2018 (Lion Air) dan Ethiopian Airlines di 2019.

Keluarga korban sebenarnya memprotes pengakuan dosa Boeing supaya perusahaan tersebut tak menghadapi tuntutan lebih jauh. Sebab, keluarga korban awalnya menuntut lebih banyak dari jumlah estimasi putusan denda yaitu US$24,8 miliar atau Rp403 triliun.

Profesor hukum di University of Utah sekaligus perwakilan banyak keluarga korban, Paul Cassell menyayangkan putusan tersebut. Paul menyebut tindakan penghindaran tuntutan dari Boeing tak seimbang dengan nyawa 346 orang yang hilang dalam dua kecelakaan maut di Indonesia dan Ethiopia.

Apalagi kompensasi untuk keluarga korban Lion Air dan Ethiopian Airlines bakal ditentukan oleh pengadilan.

"Kesepakatan yang menipu dan murah hati ini jelas tidak untuk kepentingan umum," kata Paul.

Keluarga korban pesawat Boeing masih sangat kecewa atas kesepakatan yang dicapai antara Boeing dan pengadilan, menurut seorang pengacara di Clifford Law yang mewakili mereka.

"Banyak bukti yang telah diajukan selama lima tahun terakhir yang menunjukkan bahwa budaya Boeing yang mengutamakan keuntungan daripada keselamatan tidak berubah. Perjanjian pembelaan ini hanya akan memperkuat tujuan perusahaan yang bias itu," kata perwakilan keluarga korban sekaligus pengacara Robert A. Clifford dalam sebuah pernyataan.

Baca juga:

Boeing Starliner dengan Kru Manusia Sukses Terbang ke Ruang Angkasa

Tercatat, Boeing 737 Max yang mulai beroperasi pertama kali pada 2017 itu langsung mengalami dua kecelakaan fatal di Indonesia pada 2018 dan Ethiopia di 2019 dengan total korban meninggal 346 orang.

Setelah dilarang terbang selama 20 bulan, Boeing 737 Max dapat kembali mengudara. Kondisi inu terjadi setelah ada kesepakatan antara Boeing dan Departemen Kehakiman AS pada Januari 2021.

Terdapat masa percobaan tiga tahun dimana Boeing setuju guna memperbaiki masalah kualitas pesawat dan transparansi terhadap pemerintah. Tapi, insiden Alaska Air muncul beberapa hari jelang masa percobaan itu berakhir.

Rinciannya, pada awal 2024, terjadi ledakan Alaska Airlines yang menggunakan pesawat Boeing 737 Max. Panel jendela yang dioperasikan Alaska Airlines ketika itu pecah di udara. Alhasil, keselamatan pesawat 737 Max dipertanyakan lagi dan Boeing diseret lagi ke persidangan. (Pon)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan