Resisten Antimikroba Sebabkan Kematian


Resisten antimikroba karena pemakaian antibiotik tinggi di Indonesia (Sumber: Pexels/Pixabay)
ANTIMICROBIAL Resistance (AMR) merupakan krisis kesehatan global yang terabaikan dan membutuhkan perhatian dan tindakan yang segera. Setidaknya sebanyak 700 ribu kematian disebabkan oleh penyakit yang resisten terhadap obat di seluruh dunia setiap tahunnya.
Pada 2030, diperkirakan penggunaan antibiotik akan meningkat sebesar 30 persen dan dapat meningkat sebesar 200 persen jika AMR masih ditangani dengan kebijakan yang sama seperti saat ini. Dampaknya, diprediksi pada 2050 sebanyak 10 juta orang meninggal karena AMR.
Baca juga:
"AMR merupakan permasalahan kesehatan global. Diperlukan kerjasama antar negara dan antar sektor dalam menangani AMR," ujar Ketua KPRA, dr. Harry Parathon Sp.OG (K).

Secara global, gerakan pengendalian AMR sudah meningkat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya partisipasi negara-negara lain dalam pelaksanaan program Global Antimicrobial Resistance Surveillance System (GLASS). Hampir semua negara anggota WHO sudah melaporkan hasil aktivitas surveilans, termasuk upaya-upaya pengendalian AMR di negara masing-masing.
Kendati demikian, prevalensi AMR – Multi Drug Resistant Organism (MDRO) masih tinggi. MDRO yang resisten terhadap high-end antibiotik juga meningkat. Menurut dokter Harry, penanganan AMR harus dilakukan secara kolektif oleh semua pihak. Para pemangku kepentingan perlu berkolaborasi untuk mendorong semua pihak untuk bekerjasama dalam mengimplementasikan Antibiotic Stewardship Program (ASP) di Indonesia.
Baca juga:
Cegah Corona dengan Mengonsumsi 5 Makanan Peningkat Sistem Imun Tubuh
"Secara regional di kawasan Asia Pasifik, sudah dibentuk program kerjasama dalam menangani AMR, tetapi program One Health masih belum diterapkan," tuturnya.

Dirinya juga menjelaskan fenomena kondisi AMR dan pemakaian antibiotik di masa pandemi COVID-19. "Tahun 2019, prevalensi AMR dengan indikator E.Coli dan K.Pneumonia (ESBL+) dilaporkan masih tinggi, yaitu 60.4%. Selama masa pandemi COVID-19 ini, pasien yang terpapar dan mengalami ko-infeksi bakteri sebesar 3-12% (rata-rata 7%)," urainya.
Ia melihat penting bagi para tenaga kesehatan untuk benar-benar memastikan apakah pasien COVID-19 mengalami ko-infeksi bakteri. "Fasilitas laboratorium, pemeriksaan imaging dan pengetahuan dokter harus ditingkatkan, guna mendukung kebutuhan diagnosis, karena jika tidak ditingkatkan, pemakaian antibiotik dapat meningkat tajam," tutupnya. (avia)
Baca juga:
Mpon-Mpon, Olahan Rempah Khas Indonesia Bisa Tangkal Virus Corona?
Bagikan
Berita Terkait
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Tekor! Indonesia Impor Obat Rp 176 Triliun Tapi Ekspor Cuma Rp 6,7 Triliun

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
