Jika Tak Miliki Kewenangan SP3, KPK Dinilai Bisa Lakukan Pelanggaran HAM


Gedung KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
MerahPutih.com - Praktisi Hukum Slamet Pribadi menilai, pemberian kewenangan menerbitkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3) bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah suatu keharusan. Menurutnya, ketika seseorang diposisikan sebagai tersangka, juga harus berkepastian hukum.
"Manakala perkara pidana itu telah menempatkan seseorang tersangka, ternyata kemudian tidak cukup bukti, maka perkara pidananya harus dihentikan," kata Slamet dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (21/9).
Baca Juga:
Slamet menjelaskan, dalam perintah pasal 109 KUHAP sudah jelas, memulai perkara diberitahukan kepada jaksa. Jika cukup bukti perkara pidananya diteruskan ketingkat pemeriksaan pengadilan oleh jaksa Penuntut Umum kemudian diputus oleh Pengadilan.

"Kalau tidak cukup bukti dihentikan atau di SP3, kalau di Pengadilan dibebaskan atau dinyatakan tidak bersalah," ungkap Slamet yang juga purnawirawan Polisi berpangkat Kombes ini.
Slamet berpandangan, dalam hukum Pidana tidak ada dan tidak boleh ada Tersangka seumur hidup yang tanpa kejelasan perkaranya.
"Ini bisa melanggar HAM, karena statusnya masih tersangka, kemudian yang bersangkutan mau mengurus semua administrasi apapun bisa cacat hukum, karena masih Tersangka," ungkap Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara ini.
Slamet menambahkan, jika tak ada SP3, negaea melalui para penegak hukumnya sama saja mengekang seseorang tanpa batas. Karena posisinya masih Tersangka, bahkan kalau yang bersangkutan bisa sampai meninggal dunia tetap masih menjadi tersangka. "Ironis memang kalau seperti ini," sesal Slamet.
Ia berpandangan, dalam perkara pidana, seorang Penyidik mesti memposisikan seseorang sebagai tersangka harus tunduk kepada azas Kehati-hatian. "Disamping tunduk kepada KUHAP atau UU lain yang mengatur hukum acaranya," ungkap Slamet.
Selain itu, seseorang ditempatkan sebagai Tersangka harus melalui tahapan-tahapan pembuktian secara runtut, tidak boleh lompat-lompat.
Baca Juga:
Masinton dan Fahri Kompak Klaim Pimpinan KPK 2015-2019 Sudah Tidak Ada
"Apakah sudah memeriksa Pelapor secara detail? Apakah sudah memeriksa para Saksi secara detail? Apakah sudah memeriksa bukti-bukti secara detail? Kemudian apakah antara bukti yang satu dengan bukti yang lain ada persesuaian," imbuhnya.
"Tidak bisa kita langsung lompat menempatkan sebagai Tersangka kepada seseorang, kalau langsung banyak konsekwensinya, bisa terjadi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum, palanggaran kode etik, dll, bahkan melanggar HAM," tutup Slamet.
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa, 17 September 2019.
Salah satu poin yang berubah adalah komisi antirasuah diberikan kewenangan menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) jika penyidikan atau penuntutan tidak selesai dalam dua tahun sesuai Pasal 40.
Kewenangan itu menuai kritik karena dinilai berpotensi membuat kasus-kasus besar yang ditangani KPK akan berakhir dengan SP3.
Beberapa kalangan menilai, perkara korupsi yang ditangani KPK memiliki perbedaan kompleksitas penanganan sehingga tidak bisa disamaratakan. Apalagi narasi SP3 sudah berkali-kali ditolak dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2003, 2006, dan 2010. (Knu)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
KPK Wanti-Wanti Potensi Korupsi di Balik Rangkap Jabatan Pejabat Negara

KPK Memanggil 23 Pemilik Tanah Diduga Terlibat Korupsi CSR Bank Indonesia

Komisi III DPR Desak KPK Segera Tuntaskan Kasus Korupsi Kuota Haji

Dugaan Korupsi Kuota Haji Terbongkar, KPK Ungkap Alasan Khalid Basalamah Kembalikan Dolar Secara Bertahap

KPK Ungkap 'Rayuan' Oknum Kemenag Agar Khalid Basalamah Pindah dari Haji Furoda ke Khusus

KPK Segera Umumkan Tersangka Korupsi Kuota Haji, Ini 3 Nama yang Sudah Dicekal

Indeks Integritas Pemkot Anjlok, Alarm Bagi Status Solo Percontohan Kota Anti Korupsi

KPK Desak Pemerintah Patuhi Putusan MK Soal Rangkap Jabatan

Pakar Hukum UNAIR Soroti Pasal Kontroversial RUU Perampasan Aset, Dinilai Bisa Jadi Pedang Bermata Dua

Bekas Milik Koruptor, Baju Seharga Goceng Laku Rp 2,6 Juta di Lelang KPK
