Beda Blangkon Yogyakarta dan Solo di Negeri Aing


Meski terlihat sama, blangkon Yogyakarta dan Solo berbeda. (Foto: Instagram/@sinjang_ginelar)
SAAT bepergian ke daerah Jawa, mungkin kamu akan sering menemui pria yang mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dengan penutup kepalanya yang dikenal dengan nama blangkon.
Bagi kamu yang tinggal di perkotaan biasanya akan menemui pakaian adat ini pada saat pesta pernikahan kerabat atau teman dengan adat Jawa. Pengantin dan anggota keluarga akan mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dengan blangkonnya.
Baca juga:
Bagi masyarakat Jawa, blangkon bukan sekedar menjadi penutup kepala. Blangkon memiliki makna filosofis dan juga menjadi simbol status bagi pemakainya.
Awalnya, blangkon merupakan penutup kepala bermotif batik yang tidak langsung berbentuk seperti ‘batok’ yang kita ketahui saat ini. Namun, blangkon sebenarnya harus disimpul dan diikat dengan cara yang cukup rumit.
View this post on Instagram
Karena ketidakpraktisannya ini, akhirnya dibuat ‘blangko’ atau sesuatu yang siap pakai. Dari sanalah nama blangkon mulai sering disebutkan.
Namun, blangkon dari berbagai daerah Jawa memiliki bentuk yang berbeda-beda. Misalnya blangkon dari Yogyakarta dan Solo. Selain bentuknya, makna filosofis blangkon dari dua kota di Jawa Tengah ini berbeda.
Blangkon yang berasal dari Yogyakarta memiliki sebuah mondolan atau benjolan pada bagian belakangnya. Pada zaman dahulu, para kaum adam di Yogyakarta kebanyakan memilih untuk memanjangkan rambutnya. Lalu, ketika akan menggunakan blangkon, mereka harus menggulung ke atas dan dibungkus ikatan kain.
Baca juga:
Dari kebiasaan tersebut maka berkembanglah blangkon gaya Yogyakarta yang memiliki mondolan seperti saat ini. Filosofi di balik mondolan itu sebenarnya melambangkan pribadi seseorang yang pandai menyimpan rahasia, tidak mudah membuka aib sendiri maupun orang lain, halus dalam berbicara, dan bertingkah lembut serta berhati hati. Makna-makna tersebut adalah sebagai wujud keluhuran budi pekerti seseorang.

Sementara blangkon Solo tidak memiliki mondolan pada bagian belakangnya. Hal ini dikarenakan masyarakat Solo terkena pengaruh dari Belanda yang terbiasa mencukur rambut. Bahkan masyarakat Solo juga mengenal jas beskap yang berasal dari bahasa Belanda 'beschaafd', artinya 'berkebudayaan'.
Di bagian belakang blangkon Solo terdapat kain yang terjalin dengan mengikatkan dua pucuk helai kain di bagian kanan dan bagian kiri. Makna di balik dua kain tersebut adalah sebagai simbol dari pertemuan antara Jagad alit (mikrokosmos) dengan Jagad gedhe (makrokosmos).
Maksudnya adalah, blangkon menyimbolkan Jagad gedhe, sedangkan kepala adalah Jagad alit yang ditumpangi blangkon. Ini mengisyaratkan peranan manusia membutuhkan kekuatan Tuhan yang mengurus alam semesta. (kna)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
Warga Solo Digegerkan Penemuan Granat, Malah Dikira Barang Rongsokan

KA BIAS Stasiun Palur Jadi Primadona Mobilitas Masyarakat Solo Raya, Tembus 2.822 Penumpang

Indeks Integritas Pemkot Anjlok, Alarm Bagi Status Solo Percontohan Kota Anti Korupsi

Sampah Solo Capai 350 Ton Per Hari, Pemkot Bagikan Motor Sampah Hibah UEA Era Walkot Gibran

KAI Tambah Kapasitas KA Lodaya Relasi Solo - Bandung Mulai 19 September 2025

Kejari Solo Titipkan 3 Tersangka Kasus Korupsi Kredit Sritex ke Rutan Semarang

Banyak ASN Pensiun, Pemkot Solo Angkat 780 PPPK Masuk Jabatan Fungsional

Putri Akbar Tanjung Kembali Pimpin Golkar Solo, Targetkan 5 Kursi DPRD

Permohonan SKCK di Polresta Surakarta Melonjak, Masyarakat Disarankan Urus Surat di Polsek

Roblox Jadi Ekstrakurikuler SMP di Solo, Walkot Respati Sebut Jadi Edukasi Menarik
