Autoimun Survivor di Masa Pandemi

P Suryo RP Suryo R - Selasa, 15 Desember 2020
Autoimun Survivor di Masa Pandemi

Cerita si penyintas autoimun untuk survive dari penyakitnya di masa pandemi. (Foto Pexels/Jill Wellington)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

APA yang kamu rasakan ketika didiagnosis mengidap sebuah penyakit yang tidak ada obatnya? Premis yang sepertinya hanya ada dalam buku maupun film ini sebenarnya benar-benar ada di dunia nyata. Saya mengalaminya sendiri dan ini bukan fiksi semata.

Bertepatan dengan hari ulang tahun ibu ke-52, dokter mengatakan bahwa saya menderita penyakit bernama Myasthenia Gravis. Ini merupakan salah satu jenis penyakit autoimun, yakni ketika antibodi yang seharusnya melindungi diri dari virus dan bakteri malah menjadi lawan dan menyerang diri sendiri. Dalam kasus saya, antibodi ini menyerang sistem saraf dan otot sehingga otot di seluruh tubuh bisa melemas.

Baca Juga:

Belajar dari Pengalaman Langsung Kesembuhan Penyintas COVID-19

autoimun
Bagaimana merasakan menjadi pengidap sakit yang belum ada obatnya. (Foto: Pexels/MIXU)

Ketika kambuh, kelopak mata saya turun dan penglihatan menjadi ganda. Kadang ada hari buruk saat tangan dan kaki tidak bisa diangkat. Seolah-olah ada batu yang mengikat dan menahannya. Berjalan tidak bisa, berdikari saja saya tidak bisa. Ada pula hari yang lebih buruk saat otot mulut melemas dan membuat saya jadi kesulitan berbicara sehingga seperti orang cadel. Atau saat otot pernafasan memutuskan untuk 'mengkhianati' dan membuat saya kesulitan bernapas.

Tadinya saya seorang perempuan berumur 23 tahun yang normal, sehat, dan berjalan. Namun penyakit ini kadang membuat saya jadi abnormal, sakit, dan tidak bisa berjalan. Sayangnya kondisi ini sepertinya akan jadi pertarungan seumur hidup. Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan autoimun. Dokter hanya bisa memberikan obat untuk menjaga agar antibodi dalam tubuh tidak terlalu aktif menyerang diri. Sisanya? Saya harus berjuang sendiri. Makanya bagi saya setiap harinya adalah perjuangan. Berjuang untuk jadi penyintas, untuk survive melawan diri saya sendiri, dan menerimanya.

Padahal baru setahun saya mengidapnya tapi rasanya sudah begitu lama. Namun saya terus belajar dan belajar sehingga akhirnya fase mengasihani diri sendiri berhasil dilewati. Namun baru lulus dari tahap newbie, tiba-tiba saya harus menghadapi situasi eksternal di luar kendali bernama pandemi. Jadi saya dihadapkan dengan dua lapisan perjuangan. Survive dari autoimun sekaligus survive menjadi autoimmune survivor di masa pandemi. Dan ini cerita mengenai cara saya melewatinya.

1. Menerima

autoimun
Belajar menerima bahwa diri saya memang sakit dan itu bukanlah sebuah masalah. (Foto Pexels/Hassan OUAJBIR)

Agar bisa lulus dan mendapatkan label penyintas autoimun, tahap pertama dan terpenting adalah menerimanya. Sejujurnya menerima dengan rela adalah sebuah hal tersulit di dunia. Siapa sih yang mau minum obat seumur hidup supaya bisa kuat mengangkat tangan dan berjalan? Atau mengandalkan obat (yang saya sebut sebagai pil ajaib) agar bisa bernapas?

Namun menolaknya justru membuat situasi memburuk. Jadi proses pertama untuk survive adalah menerima. Menerima kalau saya memang sakit, kalau saya berbeda dengan orang lain, dan saya membutuhkan bantuan obat serta orang lain ketika hari-hari buruk tiba. Kemudian mengatakan pada diri sendiri bahwa itu bukanlah masalah karena autoimun ini tidak mendefinisikan diri saya.

Setelah menerimanya, pola pikir baru pun bisa datang. Myasthenia Gravis bukan lagi sebuah kutuk, melainkan berkat. Kondisi ini membuat saya istimewa dan bisa saya gunakan untuk melakukan hal-hal besar. Seperti misalnya berbagi cerita dan menguatkan orang dengan tulisan semacam ini.

2. Hidup sehat

autoimun
Meskipun tidak obatnya, saya menjaga kesehatan dengan menggalakkan pola hidup yang baik. (Foto Pexels/Burst)


Meskipun autoimun tidak ada obatnya, bukan berarti saya bisa bertindak semena-mena. Justru saya harus semakin menggalakkan pola hidup sehat. Apalagi pencetus utama gejala saya adalah makanan. Oleh karena itu, saya berusaha menghindari makanan-makanan terlarang. Selain itu, olahraga ringan pun harus dilakukkan. Untungnya gejala Myasthenia Gravis saya bukan yang parah sehingga masih banyak hari baik ketika saya dapat hidup normal. Waktu-waktu spesial ini yang akhirnya dimanfaatkan untuk berolahraga ringan.

Selama setahun belakangan ketika pandemi melanda, saya berusaha menghindari pergi ke luar dan membatasi kontak dengan dunia. Ketika harus bolak-balik ke rumah sakit saya melakukan tindakan preventif seperti memakai masker dan mandi sesampainya di rumah. Meskipun sederhana, sekadar menjaga pola hidup sehat merupakan langkah tepat bagi penyintas.

Baca Juga:

Berani Speak Up, Para Penyintas Autoimun

3. Kelola stres

autoimun
Mengatur rasa stres dan mengubahnya jadi sesuatu yang positif. (Foto Pexels/Engin Akyurt)

Autoimun dan stres adalah sahabat karib. Rasanya mustahil tidak stres kalau mengidap penyakit tak kasat mata ini. Sayangnya stres justru musuh utama bagi para penyandang autoimun. Perasaan negatif ini akan memperburuk keadaan dan memunculkan gejala. Jadi alih-alih membiarkan rasa stres mendominasi, saya berusaha mengubahnya jadi positif.

Apalagi di masa pandemi ini stres sudah jadi makanan sehari-hari. Saya dan teman-teman autoimun lain merupakan salah satu golongan yang berisiko terpapar virus. Sejauh ini obat untuk melawan COVID-19 adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh. Sementara kami tidak boleh meningkatkan sistem imun karena hal tersebut justru akan memperparah gejala.

Namun saya sadar betul tenggelam dalam perasaan stres juga tidak ada gunanya. Maka dari itu, saya belajar mengendalikan emosi negatif dan berusaha mengalihkannya dengan kegiatan positif yang menyenangkan. Seperti menulis, menyulam, mengobrol dengan teman-teman, dan menyantap makanan lezat. Tanpa disadari, mengisi hidup dengan hal positif memampukan saya melewati perjalanan ini.

4. Bahagia dan menikmati hidup

autoimun
Berbahagia dan menikmati hidup jadi kunci untuk bisa survive sebagai penyintas autoimun. (Foto Pexels/Andrea Piacquadio)

Yura Yunita pernah mengatakan dalam lagunya bahwa "yang paling penting kita harus bahagia". Inilah yang selalu saya usahakan sejak dinyatakan sakit autoimun. Pada akhirnya yang bisa dilakukan adalah tetap berbahagia dengan keadaan dan menikmatinya. Saya belajar bersyukur dengan penyakit ini dan berbahagia dengannya. Meskipun antibodi melawan, saya berusaha menjadikannya kawan dan berjalan bersama autoimun ini.

Saya belajar untuk tidak fokus dengan penyakit dan penderitaan yang saya alami, melainkan pada apa yang bisa saya lakukan dan saya miliki. Di balik sakit ini, saya masih bisa melakukan banyak hal. Selain itu, saya memiliki keluarga yang mendukung penuh, teman-teman yang siap mendengar, dan berbagai hal baru yang bisa saya pelajari. Akhirnya hal sederhana sekalipun dapat jadi lebih bermakna. Saya dapat mengatakan bahwa saat ini saya bahagia. Perasaan ini lah yang akhirnya membantu saya jadi si penyintas autoimun. (Sam)

Baca Juga:

Berawal dari Penyintas Postpatrum Depresi, Nur Yana Yirah Berhasil Mendirikan Mother Hope Indonesia

#Desember Survive #Kesehatan #Penyakit Autoimun #Autoimun Miastenia Gravis
Bagikan
Ditulis Oleh

Samantha Samsuddin

Be the one who brings happiness

Berita Terkait

Indonesia
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak
Pemerintah DKI melalui dinas kesehatan akan melakukan penanganan kasus campak agar tidak terus menyebar.
Dwi Astarini - Jumat, 12 September 2025
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak
Indonesia
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian
Langkah cepat yang diambil jajaran Dinkes DKI untuk mencegah penyakit campak salah satunya ialah melalui respons penanggulangan bernama ORI (Outbreak Response Immunization).
Dwi Astarini - Selasa, 09 September 2025
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian
Indonesia
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong
Lonjakan kasus malaria yang kembali terjadi setelah daerah tersebut sempat dinyatakan eliminasi pada 2024 itu harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong
Lifestyle
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Stres dapat bermanifestasi pada gangguan di permukaan kulit.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Dunia
Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat
Menkes AS juga menghapus program pencegahan penyakit yang krusial.
Dwi Astarini - Rabu, 03 September 2025
Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat
Lifestyle
Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
Mereka yang membatasi makan kurang dari delapan jam sehari memiliki risiko 135 persen lebih tinggi meninggal akibat penyakit kardiovaskular.
Dwi Astarini - Selasa, 02 September 2025
Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
Indonesia
Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran
Irma mendorong BPJS Kesehatan untuk bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik
Angga Yudha Pratama - Kamis, 28 Agustus 2025
Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran
Indonesia
Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar
Presiden Prabowo juga menargetkan membangun total 500 rumah sakit berkualitas tinggi sehingga nantinya ada satu RS di tiap kabupaten dalam periode 4 tahun ini.
Alwan Ridha Ramdani - Selasa, 26 Agustus 2025
Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar
Indonesia
Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
Presiden Prabowo yakin RS PON Mahar Mardjono dapat menjadi Center of Excellence bagi RS-RS yang juga menjadi pusat pendidikan dan riset, terutama yang khusus berkaitan dengan otak dan saraf.
Alwan Ridha Ramdani - Selasa, 26 Agustus 2025
Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
Indonesia
Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa
Riza Chalid, selaku pemilik manfaat PT Orbit Terminal Merak, merupakan salah satu dari delapan tersangka baru dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah
Angga Yudha Pratama - Jumat, 22 Agustus 2025
Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa
Bagikan