Upaya New Normal Dinilai Tak Sesuai Realita di Lapangan


Warga Jakarta bersepeda saat penerapan PSBB, di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (31/5). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc)
MerahPutih.com - Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menilai bahwa kebijakan new normal tidak serta merta berarti penanganan COVID-19 sudah berhasil.
Dia menilai, Indonesia saat ini belum bisa dikatakan normal. Angka kematian belum turun. Dicatat hampir 2.000 orang yang meninggal dan terkonfirmasi 33.076 korban.
Baca Juga:
Hindari Kontak Fisik, Masyarakat Diminta Bertransaksi Nontunai di Transportasi Publik
“Memang ada negara-negara seperti Korsel, Jerman, Hongkong, China dan juga Australia yang mencoba membuka kembali (kehidupan normal),” ujarnya kepada Merahputih.com di Jakarta, Rabu (10/6).
Saat ini, aturan new normal diterapkan di 102 daerah, PSBB 20 wilayah, dan lockdown ada 7 daerah. “Ini bagi saya tidak linear atau satu line (dengan keadaan di lapangan),” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang saling berkesinambungan antara kebijakan satu dengan kebijakan yang lainnya.
“Saya berharap baik government and public policy itu searah, misalkan penerapan kebijakan new normal,” imbuhnya.

Ia menyontohkan salah satu kebijakan pemerintah yang tidak linier adalah tentang kebijakan.
“Saat mudik dibuka maka penyebaran COVID-19 kian masif. Daerah yang awalnya green zone (zona hijau) berubah jadi red zone sampai black zone (zona hitam). Itulah akibatnya kalau kebijakan tak sejalan. Bikin kebijakan harus rational policy (kebijakan rasional) bukan irrational policy,” tuturnya.
Untuk itu, sinergitas antara legislatif dan eksekutif serta lembaga terkait harus berjalan beriringan. Jangan malah sampai saling berbenturan.
Barangkali, ujarnya, new normal sebuah pilihan untuk freedom and healthy (kebebasan dan kesehatan). Apalagi dalam perspektifnya, new normal dengan herd immunity nyaris tidak ada bedanya. Bahkan, pola yang sama pernah dipakai oleh Swedia dan hasilnya nihil.
“Bagi saya new normal sudah sendiri-sendiri kita menyelamatkan diri kita. Bahasa dasarnya pemerintah sudah hands up (angkat tangan). Kita yang tentukan arah dan tujuan. Bahasa new normal beda tipis dengan herd immunity seperti yang dilakukan pemerintah Swedia,” terang Jerry.
Baca Juga:
Sultan HB X Sebut Protokol Kesehatan Harus Mendukung Kebangkitan Ekonomi
Jerry pun mengingatkan kepada para pemangku kebijakan tentang bahaya gelombang kedua (secound wave) COVID-19 jika new normal tetap diterapkan, apalagi melihat kasus wabah tersebut belum menunjukkan grafik yang positif.
“Saya tidak yakin new normal akan berhasil jika melihat kurva yang tak kunjung turun baik angka kematian, PDP dan terinfeksi COVID-19. Makanya, perlu opsi yang paten,” tuturnya.
Bisa saja dengan mengunakan rumus achievable and measurable and timely system di mana dapat diukur dan dicapai dan tepat waktu dalam menentukan sikap. (Knu)
Baca Juga:
Para Pengambil Jenazah Positif COVID-19 Dijerat Pasal 214 KUHP
Bagikan
Berita Terkait
Ilmuwan China Temukan Virus Corona Kelelawar Baru yang Sama dengan COVID-19, Disebut Dapat Menular ke Manusia Lewat

COVID-19 di Tiongkok Meninggi, 164 Orang Meninggal dalam Sebulan
