Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Masih Hadapi Tantangan, Pemantau Independen Harus Dilibatkan
Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Multipihak Pembaruan ISPO
MerahPutih.com - Pada November 2025 terbit revisi peraturan Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO yakni Peraturan Menteri Pertanian nomor 33 tahun 2025 tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia terhadap Usaha Perkebunan Kelapa Sawit.
Peraturan tersebut merupakan salah satu peraturan teknis yang mengatur ISPO pasca lahirnya
Peraturan Presiden (Perpres) nomor 16 tahun 2025 terkait Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia, yang merupakan pembaruan dari ISPO sebelumnya yakni Perpres nomor 44 tahun 2020.
Pepres ISPO baru tersebut mengatur sertifikasi ISPO di tingkat kebun, hingga industri hilir, hingga
bioenergi (B40 dan B50).
Namun, sampai saat ini, sertifikasi sawit berkelanjutan masih menghadapi banyak tantangan. Padahal, sertifikasi menjadi salah satu jalan keluar agar pengelolaan perkebunan sawit baik perusahaan maupun petani swadaya berdampingan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
Baca juga:
Kejar Swasembada Energi, Prabowo Minta Papua Tanam Sawit hingga Singkong
Kaoem Telapak (Kaoem) menilai regulasi anyar tersebut memiliki peluang sekaligus tantangan dalam
implementasinya. Dibutuhkan peran dan keterlibatan para pihak agar capaian sertifikasi sawit berkelanjutan semakin masif.
"Tentunya dengan melibatkan masyarakat sipil sebagai pemantau independen, agar perusahaan mematuhi prinsif dan kriteria sertifikasi. Serta ISPO menjadi lebih kredibel dan diterima pasar karena adanya masukan masyarakat sipil," kata kata Wakil Presiden Kaoem Olvy Octavianita dalam Diskusi Kelompok
Terpumpun (FGD) Multipihak Pembaruan ISPO di Jakarta, Senin (22/12)
"Dengan harapan bahwa ISPO baru dapat meningkatkan kredibilitas sertifikasi kelapa sawit mandatori dan upaya perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit," kata Wakil Presiden Kaoem Olvy Octavianita.
Komite ISPO Rismansyah Danasaputra menegaskan, sertifikasi ISPO bagian dari rantai pasok yang dipersyaratkan pasar. ISPO bukan hanya pencitraan. Namun, sebagai konsekuensi para pelaku usaha sawit, agar bahan baku menjadi jelas tidak abu-abu.
"Kerja sama eksporti dan industry cpo juga harus diperkuat, agar standar keberlanjutan dapat diterapkan secara konsisten," katanya.
Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), ISPO untuk pekebun saat ini masih sangat minim. Diharapkan, dalam 4 tahun mendatang, pemerintah semakin masifkan sosialisasi. Saat ini, masih ada waktu untuk berbenah sebelum ISPO menjadi mandatori atau wajib.
FORTASBI mendorong dukungan berbagai pihak dalam proses sertifikasi ini. Karena, tanpa adanya dukungan pendanaan pemerintah atau mitra pembangunan dan pemangkukepentingan sawit berkelanjutan, proses sertifikasi dari segi pendanaan sangat berat bagi petani swadaya. (*)
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Masih Hadapi Tantangan, Pemantau Independen Harus Dilibatkan
Kejar Swasembada Energi, Prabowo Minta Papua Tanam Sawit hingga Singkong
Pakistan Ingin Keseimbangan Dagang Dengan Indonesia, Tawarkan Kerja Sama IT dan Agrikultur
Begini Data Konsumsi Minyak Sawit di Indonesia Periode 2025
Harga Kratom Jauh di Atas Sawit, Jalan Petani Kalbar Sejahtera
Ratusan Eksportir Sawit Akali Pajak Rp 140 M, Total Potensi Kerugian Negara Hingga Rp 2 T
282 Eksportir Sawit Akali Pajak Pakai Label POME dan Fatty Matter, Modus Lama Sejak 2021
Satgasus OPN Bongkar Modus Baru Penghindaran Ekspor Produk Turunan Sawit, Potensi Kerugian Negara Mencapai Rp 140 Miliar
Indonesia Harapkan Amerika Kenakan Tarif Ekspor Minyak Sawit 0 Persen Seperti ke Malaysia
Biodiesel 50 Bakal Tekan Harga Sawit Petani, SPKS Desak Pemerintah Hati-Hati