Pernikahan Campuran Lahirkan Keberagaman Kuliner di Nusantara


Sajian kuliner yang lebih beragam terbentuk pula karena pernikahan campuran. (Foto: Unsplash/Haryo Setyadi)
SIAPA tahan hidup membujang? Enggak orang dulu, enggak orang sekarang, mungkin hanya sedikit saja yang tahan. Lebih banyak orang memutuskan menikah dan berpasangan. Lihatlah bagaimana kehidupan orang-orang Belanda awal yang datang ke Nusantara.
Kebanyakan mereka lelaki. Mereka hanya sanggup hidup membujang beberapa lama, lalu memilih mengambil istri dari perempuan tempatan.
Hanya sedikit perempuan Eropa datang ke Nusantara dalam rentang dua abad sejak kedatangan orang-orang Belanda kali pertama di Nusantara pada 1596. Perjalanan ke Nusantara dianggap kurang cocok bagi perempuan Eropa.
Sudah begitu, kebanyakan lelaki bujang yang ikut dalam kapal-kapal Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC) adalah orang-orang buangan di negerinya masing-masing. “Namun, beberapa perwira atau petinggi rombongan berasal dari kelompok masyarakat terhormat,“ tulis CR Boxer dalam Jan Kompeni.
Baca juga:
Pengaruh Budaya Eropa terhadap Kebiasaan Makan Orang Indonesia

Selain itu, VOC juga melarang perempuan ikut dalam pelayaran. Meskipun sebagian mereka telah menyaru sebagai lelaki, di tengah perjalanan ketahuan dan harus dipulangkan ke Belanda. Hanya sedikit perempuan Eropa yang bisa sampai ke Hindia Timur.
Setelah sampai Hindia, mereka bersalin rupa lagi dan mencari pasangan lelaki Eropa, lalu menempati posisi yang lebih tinggi daripada perempuan tempatan. Karena jumlah perempuan Belanda di Hindia Timur tak sebanding dengan jumlah lelakinya, lelaki Eropa terpaksa memilih hidup membujang sementara waktu. Karena itulah muncul istilah vrijgezel cultuur alias budaya membujang.
Setelah beberapa lama, lelaki Belanda memupus budaya itu dengan menikahi perempuan Pribumi. Ini kian sering terjadi pada akhir abad ke-19 ketika perkebunan di Hindia mulai dibuka.
“Tuntutan memiliki pendamping membuat para laki-laki Eropa (baik yang masih membujang maupun yang sudah beristri) memilih untuk mengawini perempuan Pribumi, mulai dari kuli-kuli perempuan hingga mereka yang berasal dari kalangan keluarga petani dan priyayi,” catat Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942.
Baca juga:

Para perempuan tempatan yang dikawini oleh lelaki Belanda disebut sebagai nyai. Mereka melahirkan anak-anak berdarah campuran. Rumah tangga campuran ini kemudian memuncukan Kebudayaan Indis.
Kata "Indis" berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi wilayah jajahan berbentuk Kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie. Ini untuk membedakan dengan wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curacao.
Konsep Indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa sejak abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20.
Anak-anak dari keluarga campuran Belanda kemudian menjadi pendukung penyebaran dan pengembangan budaya ini. Termasuk pula dalam penciptaan akulturasi di bidang kuliner yang disebut rijsttafel.
Sajian menu khas Eropa merupakan sajian yang sulit untuk senantiasa dihadirkan di tanah jajahan. Ongkos pengiriman bahan bakunya yang diimpor langsung dari Eropa sangat tinggi, belum lagi persoalan iklim tropis yang lembab dan lebih hangat daripada di Eropa.
Ini memaksa orang-orang Eropa untuk beradaptasi lebih lanjut dengan banyak mengadopsi masakan khas Nusantara, dengan bahan baku yang tersedia di Hindia Belanda.
Menurut Fadly, para nyai berperan besar dalam membentuk pola hidup orang-orang Belanda di Hindia. Mereka membantu para suaminya membiasakan diri dengan makanan lokal. Sekian lama hidup dengan para nyai, membuat mereka akhirnya terbiasa juga dengan makanan Pribumi. Meskipun dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk itu.
Akulturasi tak hanya terjadi pada satu kelompok saja, tapi juga cenderung berlangsung pada kelompok lain. Orang Belanda dan orang-orang tempatan sama-sama mengalaminya. Ini ikut membentuk sajian kuliner yang lebih beragam di Hindia Belanda.
Sajian ini menghadirkan nasi sebagai menu utama, olahan berbagai daging untuk lauk, serta tumisan sayur dan pelengkap lainnya. Sejumlah kecil resep Eropa juga masuk dalam sajian. Antara lain seperti kroket, perkedel, telur mata sapi, semur, dan sup. (dru)
Baca juga:
Museum Kesejarahan Jakarta dan Kunstkring Gelar Pameran Jejak Memori Rijsttafel