Mengganti Ibadah Haji, Menziarahi Makam Wali


Para calon jemaah haji asal Aceh. (Tropenmuseum)
MENGURAS dana besar, masalah keamanan, lama masa perjalanan, dan kebijakan pemerintah kolonial membatasi gerak kaum muslim Hindia-Belanda melakukan perjalanan haji.
Dengan segala keterbatasan, mereka mencari alternatif lain untuk pergi haji meski tak harus menapakan kaki di Mekkah.
Di abad 19, kaum muslim menganggap berziarah tujuh kali mengelilingi masjid Demak sama dengan naik haji ke Mekkah. Ziarah tersebut pada tahun 1930, menukil R Soerdjana Tirtakoesoema “Beantwoording van der vragen gesteld door den Demak” Djawa XVII 1937, termasuk dalam pesta Besaran.
Ziarah tersebut dilakukan selama 10 hari, dari tanggal 1 hingga 10 Zulhijah. Para peziarah akan sembahyang dan mengaji di masjid Demak, serta menziarahi makam para wali, Sunan Kalijaga di desa Kadilangu. Ritual kemudian dimeriahkan dengan pasar malam di alun-alun.
Lantaran telah menjamur, para peziarah memberi anjuran agar “kiblat Mekkah diganti dengan kiblat Demak dan naik haji ke Mekkah deganti dengan haji ke Demak,” tulis surat kabar Soera Oemoem tahun 1903.
Peralihan pusat spiritual Mekkah-Demak bahkan dianggap sebagai pertentangan ekonomi, kaya-miskin. Para peziarah makam wali, menurut Mufti M Mubarok Kaji Blangko: Berhaji di Tanah Jawa Tanpa ke Mekkah, merupakan ‘haji orang Jawa miskin’. Disarankan pula agar para peziarah beroleh gelar, bila para calon haji ke mendapat gelar Haji atau huruf H di depan nama, maka sepatutnya para peziarah wali memakai gelar ‘Kaji Blangkon’ dengan sematan huruf K di depan nama mereka.
“Menurut tradisi lain, empat puluh kali ziarah ke imogiri sama dengan naik haji,” tulis Michael F Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma Below the Winds.
Tradisi peralihan ziarah makam lokal pengganti berhaji ke Mekkah tak terbatas pada pantai utara Jawa. Ritual serupa pun terdapat di Sumatera Barat, menurut sementara orang, tujuh kali meziarahi makam Syekh Burhanuddin di Ulakan, sebelah utara kota Padang, sama dengan satu kali berhaji ke Mekkah.
Tradisi tersebut disebut basapa atau bersafar karena diadakan pada hari rabu setelah tanggal 10 Safar bertepatan dengan haul Syekh Burhanuddin (1699). Ulakan pun dianggap sebagai “Meka Ketek” (Mekkah Kecil).
Di Sulawesi Selatan, menziarahi sebuah situs di Gunung Bawakaraeng, sekira 75 km sebelah utara kota Makassar, pun dianggap ibadah haji. Para peziarah di masa musim haji tersebut kelak disebut “Haji Bawakaraeng”. (*)
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Revisi UU Haji Berujung Ada Kementerian Baru, Dasco: Serahkan ke Pemerintah

Fraksi Golkar Minta Rencana Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Ditinjau Kembali

Timwas DPR Beberkan Peran Strategis KBIH dalam Pelayanan Haji dan Solusi Monopoli Tenda Arafah-Mina

Mengapa Indonesia Punya Banyak Pahlawan Nasional? Sejarah Pemberian Gelar Pahlawan dan Kontroversi Panasnya

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Diklaim Sudah Disetujui, Bakal Habiskan Anggaran Rp 9 Miliar

Tulis Sejarah Ulang Indonesia, Menbud Fadli Zon Libatkan 113 Penulis

AKSI Kritik Proyek Penulisan Ulang 'Sejarah Resmi', Disebut sebagai 'Kebijakan Otoriter untuk Legitimasi Kekuasaan'

Kenapa Kita Halalbihalal sepanjang Bulan Syawal? Ini Asal-Usul dan Sejarahnya yang Jarang Diketahui

Sultanah Nahrasiyah, Jejak Perempuan Pemimpin dari Samudra Pasai

Petualangan Waktu ke Samudra Pasai, Melihat Kehidupan Masyarakat Pesisir di Kerajaan Besar Bercorak Islam di Sumatera
