Kisah para Prajurit Menciptakan Gudeg
Gudeg punya sejarah makanan para prajurit. (foto: Instagram @makancengli)
DUNIA kuliner baru saja kehilangan ikon gudeg, Mbah Lindu. Penjual gudeg legendaris itu wafat di usia 100 tahun, Minggu (12/7). Kisah Mbah Lindu yang mulai berjualan gudeg di usia 13 tahun itu bahkan sudah masuk Netflix lewat acara Street Food. Itu membuat gudeg makin dikenal dunia.
Sajian gudeg memang lekat dengan Kota Yogyakarta. Mereka yang datang ke Yogyakarta tidak pernah bosan menikmati kuliner satu ini. Belum ke Yogyakarta kalau tidak makan gudeg. Begitu ungkapan yang berlaku.
BACA JUGA:
Sajian khas berbahan dasar nangka muda dengan bumbu lengkuas, daun salam, batang serai, bawang merah, bawang putih, kemiri, dan ketumbar ini punya cita rasa manis dari gula jawa. Meski terkenal dari Yogyakarta, olahan lezat nangka ini ada di seluruh wilayah Jateng. Bahkan ada 3 versi gudeg di wilayah Jateng. Ada gudeg Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Setiap daerah itu punya ciri khas masing-masing.
Ada yang basah, ada juga yang kering. Selain itu, dari tampilan warna juga berbeda. Gudeg Solo, misalnya, tak secokelat buatan Yogyakarta. Hal itu disebabkan jumlah gula jawa yang dipakai untuk memasak. Meskipun demikian, gudeg kini tak lagi tampil polos. Umumnya gudeg ditemani telur, daging, atau tahu dan tempe. Kombinasi itu memberikan cira rasa gudeg yang enak dan khas kuliner Nusantara.
Namun, tahukah kamu, gudeg ternyata berawal dari kreasi para prajurit? Murdijati Gardjito, profesor dan juga peneliti Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan Gizi dari Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan gudeg telah ada sejak awal mula pembangunan wilayah Jateng, bahkan tepat sebelum Yogyakarta.
Pada sekitar abab-16, Kerajaan Mataram ingin membangun sebuah peradaban di hutan. Hutan tersebut dipenuhi pohon nangka dan kelapa. Lokasi itu kini menjadi daerah yang bernama Kotagede. Pada saat pembangunan, prajurit kebingungan memanfaatkan nangka dan kelapa. Karena jumlah prajurit Mataram yang amat banyak, mereka butuh makanan. Jadilah mereka mengkreasikan nangka dan kelapa jadi santapan.
Para prajurit menyiapkan sebuah wadah besar yang terbuat dari logam. Mereka menyiapkan pengaduk sebesar dayung. Sajian yang tercipta dinamau hangudeg yang berarti mengaduk atau diaduk.
Pada saat itu, hangudeg hanya disantap prajurit. Seiring berjalannya waktu, sajian enak itu lebih dikenal sebagai gudeg. Kelezatannya juga tak lagi hanya monopoli para prajurit. Masyarakat pun bisa mencicip gudeg.
Jika awalnya hanya menggunakan santan dan nangka muda, kini gudeg disajikan bersama berbagai tambahan, salah satunya sambal krecek. Bahkan kini mudah saja menemukan gudeg saji cepat dalam kemasan.(ray)
BACA JUGA:
Sama Enak, Ternyata Gudeg Yogyakarta, Solo, dan Semarang Punya Perbedaan
Bagikan
Berita Terkait
10 Kuliner Khas Kudus yang Wajib Dicoba, dari Soto Kerbau hingga Gethuk Nyimut
Tahok dan Bubur Samin Solo Jadi Warisan Budaya tak Benda
Jepang Selamat dari Ancaman Kekurangan Bir, Perusahaan Asahi kembali Berproduksi setelah Serangan Siber
Deretan Acara Café Brasserie Expo 2025, Pilihan Terbaik Bagi Para Pencinta F&B
Coco Series dari Roemah Koffie Dikenalkan di Athena, Membawa Ciri Khas Tropis
Ahhh-fterwork Hadirkan Perjalanan Multisensori nan Penuh Petualangan, Ditutup Sesi Omakase Memanjakan Lidah
Remaja China Kencingi Kuah Hotpot, Diharuskan Ganti Rugi Rp 4,7 Miliar
'Demon Slayer: Infinity Castle' Jadi Inspirasi Kolaborasi Menu Minuman Eksklusif
Jeritan UMKM di District Blok M, Harga Sewa Naik Langsung Bikin Tenant Cabut
Menemukan Ketenangan dan Cita Rasa Bali di Element by Westin Ubud, Momen Sederhana Jadi Istimewa