LAPSUS: Jejak Perjuangan Peranakan Tionghoa Melawan Kolonial, Dari Batavia ke Lasem


Salah satu situs sejarah saksi perjuangan masyarakat peranakan Tionghoa di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. (MerahPutih.com/Rizki Fitrianto)
OKTOBER 1740, Batavia (kini Jakarta) menjadi lautan darah. Puluhan ribu etnis Tionghoa dibantai oleh pasukan Gubernur Vereenigge Oostindische Compagnie (VOC) Batavia Jenderal Adriaan Valckenier (1737-1741).
Dalam bahasa Belanda, pembantaian itu dikenal dengan istilah Chinezenmoord (Pembunuhan orang Tionghoa).
Berdasarkan catatan sejarah, pembantaian puluhan ribu etnis Tionghoa itu sebelumnya dipicu oleh peristiwa pembunuhan yang memakan korban sekitar 50 pasukan kolonial Belanda pada 7 Oktober 1740 di kawasan Angke (Jakarta Utara).
Menurut Valckenier masih dalam catatan sejarah tersebut, pelaku pembunuhan pasukan kolonial Belanda itu adalah peranakan Tionghoa.
VOC murka. Mereka mengirim pasukan tambahan ke Batavia untuk melucuti persenjataan Tionghoa dan juga memberlakukan jam malam.
Puncaknya, pada 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740 pemerintahan VOC melakukan serangan balik dengan membunuh peranakan Tionghoa secara membabi buta. Ia menyatakan bahwa kerusuhan tersebut dapat diatasi dengan kekerasan mematikan sekalipun.
David Kwa, sejarawan dan tokoh peranakan Tionghoa mengatakan, pembantaian yang dilakukan kolonial itu lebih dipicu pada berkurangnya pendapatan mereka akibat jatuhnya harga gula.
VOC yang kalah dalam persaingan bisnis dengan masyarakat Tionghoa benar-benar kalap. Semua yang berbau Tionghoa, dibunuh. "VOC yang cenderung korupsi, justru membuat bangkrut Belanda. Maka dilakukanlah pembantaian massal," kata David Kwa kepada merahputih.com beberapa waktu lalu.
Pembantaian itu dilakukan di sepanjang Kali Besar dan Angke. Peristiwa itu juga dikenal dengan nama Geger Pacinan. Kekerasan tersebut dengan cepat menyebar di seluruh Kota Batavia sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh.
Diperkirakan lebih dari 50.000 orang Tionghoa tewas. Sedangkan untuk jumlah orang yang selamat tidak pasti. Namun, diperkirakan ada 1.000 sampai 3.000 yang selamat dan melarikan diri ke beberapa daerah untuk menghindari pembantaian kolonial.
"Mereka (Tionghoa) ada yang melarikan ke timur (Jawa Tengah), Tangerang, dan Bogor. Di Jawa Tengah, peranakan Tionghoa menggalang kekuatan bersama pribumi Jawa untuk melawan penindasan itu. Bahkan rentetan perang terjadi sampai ke Semarang yang disebut dengan Perang Kuning atau Geel Oorlog," kata David Kwa. (*/bersambung)
Baca juga:
- Bersatunya Kaum Tionghoa dan Para Pejuang Pribumi Lasem
- Kisah Peranakan Tionghoa Juragan Bata Penentang Belanda
- Oei Ing Kiat, Peranakan Tionghoa yang Memimpin dengan Adil dan Mengayomi