Generation Gap Hubungan Orangtua dan Anak Bukan Perkara Sepele


Generation gap dalam hubungan anak dan orangtua. (Unsplash Markus Spiske)
AKU sudah minta ijin sebelumnya. Niat sedari awal memang ingin menjenguk teman malah dimarahi. Mama memarahiku karena tidak pulang sesuai waktu perkiraannya.
Setelah pulang sekolah, aku dan teman-teman lain menjenguk teman sakit. Sepulang jenguk, kami menikmati waktu bersama sebentar. Kabarnya, temanku ingin diajak ke klinik orangtuanya. Bahkan, orangtuanya menawarkan mengantar kami pulang.
Baca Juga:
Aku dan teman-temanku pun setuju ajakan mereka. Kami menemani mereka ke klinik. Saat itu, temanku tengah mengecek darahnya sehingga dibutuhkan waktu agak lama untuk pengambilan darah dan semacamnya. Tentunya aku dan teman-teman lain menunggu di ruang tunggu.
Di saat tengah menunggu, aku memainkan ponselku. Chatting bersama mama. Ia bertanya aku kapan pulang. Aku pun tidak tahu kapan akan pulang karena sedang menunggu teman sedang diambil darah. Tiba-tiba, mama menelponku marah-marah. “Cepet lu pulang! Daritadi ditungguin bukannya pulang,” teriak mamaku ditelpon. Aku bahkan menangis hingga teman-temanku bertanya kepadaku.
“Ge, kenapa ge?” tanya mereka. Rasanya aku ingin menjawab mereka tanpa menangis, namun pertanyaan itu makin membuatku semakin luber airmata. “Gue diomelin gegara belum pulang,” balasku.

Mereka terlihat sedih karena melihatku menangis seperti itu. “Yaudah Ge, sini gue anterin sama papa gue,” ajak temenku menawarkan diri. Temanku ini menelpon papanya untuk menjemputnya pulang serta mengantarku.
Singkat cerita, aku sampai di rumahku dan tak lupa berterima kasih kepada temanku tadi. Saat aku pulang, mama lanjut memarahiku dan menasehatiku. Namun, aku merasa tak adil karena adik dan kakak laki-lakiku dibolehkan pergi tanpa takut dimarahi. Hal itu membuat teman-temanku memiliki anggapan mamaku sangat galak dan seram.
Baca Juga:
Abang Bakso Tangguh, Beralih Profesi Jadi Tukang Bangunan demi Keluarga
Pandangan itu selalu teringat di benak mereka. Setiap mengajak jalan dan aku menolak karena memang tidak diberikan ijin mamaku. “Mama lu galak sih ge,” ungkap mereka. Jujur, aku iri melihat teman-temanku dengan mudah diperbolehkan pergi ke mana saja.
Ketatnya orangtuaku memberi jam main membuat diriku tidak nyaman. Aku menjadi merasa takut jika melakukan kesalahan dan susah menentukan pilihan sendiri. Tak hanya susah untuk keluar bersama teman, cita-citaku juga terancam. Aku sudah tahu cita-citaku, namun mamaku tidak memberikanku kesempatan untuk mengejarnya.
Seperti ingin berkuliah di salah satu kampus di Korea untuk membentuk keahlianku dalam menari, ia tak mengijinkannya. Aku merasa dunia sangat tidak adil, melihat orang lain memiliki orangtua tidak seribet orangtuaku.

Semua itu mulai aku diskusikan kepada mamaku. Segala pertanyaan membuatku kesal dan sedih itu langsung kutanyakan kepadanya. Merasa tak adil dengan kakak dan adikku, aku mulai dengan bertanya kenapa aku tak boleh bebas bepergian seperti mereka. “Ya, iyalah, kamu kan cewek takut kenapa-kenapa. Kalau koko sama adik kamu kan cowok lebih bisa menjaga diri”.
Dilanjutkan dengan membahas masa depanku, ia menjelaskan alasan mengapa tak membiarkanku untuk kuliah di luar negeri. “Pertama, biaya, udah pasti bakalan banyak biaya keluar. Kedua, jarak, kalau ada apa-apa nanti susah. Ketiga, di sana enggak ada ngawasin kamu, takut nanti pergaulannya enggak jelas atau kenapa-kenapa di sana.” jelasnya.
Terkadang saat melihat tato simple aku ingin sekali untuk menggambarnya di lenganku dan aku sempat bertanya mengenai pendapatnya jika aku bertato. “Kan ada di Alkitab, jangan merusak bait Allah. Orang bertato tuh dicap sebagai anak bandel, anak nakal,” jelas mamaku dengan nada tinggi.
“Nanti, kalau kamu udah punya anak juga tau sendiri kok. Koko aja sampai bilang pas kamu pulang malem-malem waktu itu tuh, kok enggak diomelin enggak dikasih tahu,” katanya kepadaku. Mamaku sendiri merupakan anak strict parent. Ia bercerita dahulu oma-ku lebih kejam daripada dirinya sekarang mengurus anak.

“Kalau mami enggak nurut, bisa-bisa disundut pake lilin. Pulang paling maksimal jam 9 malam. Galak banget dah popo dulu,” ungkapnya. Mama bilang jaman dahulu tetangga akan membicarakan hal tidak-tidak jika pulang malam. Bagi mereka perempuan pulang malam merupakan perbuatan tidak benar.
Maka dari itu, mama merasa peraturan itu harus diterapkan agar tidak terjadi hal-hal buruk terjadi padaku. Berbeda dengan sekarang, pemikiran generasi saat ini tak begitu mementingkan pandangan orang lain kepada mereka. Bahkan, generasi milenial dianggap sebagai generasi pemberontak.
Wajar, jika orangtua tak dapat lepas dari nilai-nilainya membekas saat dirinya masih anak-anak. Perbedaan generasi menjadi penyebabnya. Lalu, bagaimana dengan solusinya? “Sama-sama harus sepakat. Mami ijinin kamu keluar nih main sama teman. Bukan berarti bebas gitu aja, tapi harus tetep ada aturannya. Kalau enggak ada aturannya, nanti bisa jadi enggak benar,” jawabnya.
“Kalau sekarang kan lagi COVID, kamu kalau keluar juga mami kasih aturan kan? Buat jaga jarak sama teman, jangan dekat-dekatan, cuci tangan, jangan ngumpul-ngumpul di tempat rame. Pulang jangan malam-malam kan?” tanyanya kepadaku. Baginya, generation gap ini dapat dihadapi dengan saling bersepakat untuk menguntungkan kedua pihak. (mic)
Baca Juga:
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Cegah Modus Love Scamming, Kenali Ciri-cirinya

Kamu Clingy ke Pasangan? Bisa Jadi Itu Tanda Insecure dan Takut Ditinggalkan

Jangan Coba-Coba FWB, Risiko Negatif Membayangi

Si Doi Sungguh Cinta atau Sekadar Breadcrumbing? Ketahui Makna dan Tanda-tandanya

Tips Pertemanan Langgeng, Perlu Adanya 'Ekuitas Persahabatan'

Pasangan Posesif Bikin Hubungan Jadi Toksik, Begini 5 Cara Menghadapinya

Kena Silent Treatment Sama Pasangan? Ini yang Harus Kamu Lakukan

Punya Trust Issue dengan Pasangan, Begini Cara Menanganinya

Segera Tinggalkan! Ini 5 Tanda Kamu Terjebak dalam Hubungan Toxic

Ini 5 Tanda Kamu Punya Chemistry Baik dengan Pasangan
