Bahasa Binan, Cikal Bakal Bahasa Gaul Generasi Z


Bahasa ini terus berkembang, diolah, dan diterima secara luas hingga sekarang di berbagai kalangan dan media sosial. (Foto: Unsplash/Eliott Reyna)
"LAU dimandose? Lambreta bingit, sih? Kita udin makan di resto nih."
"Eh, Gua masih OTW nih. Sorry, jalanan crowded. Kayaknya cuma Gua sendokiran yang telat meet up ya?"
"Ember. Ya, udin. Kita makan duluan ya. Endes makanannya biarpun rada mehong di sokin."
Pernahkah kamu mendengar atau membaca kosakata di atas? Beberapa kosakata seperti "lau" (elu atau kamu), "dimandose" (dimana), "lambreta" (lambat), "bingit" (banget), "ember" (emang), "udin" (sudah), "endes" (enak), dan "mehong" (mahal) termasuk dalam kosakata yang sering digunakan dalam bahasa pergaulan Generasi Z sekarang.
Bersama istilah-istilah asing, kosakata tersebut membantu Generasi Z memperlancar pergaulannya. Dalam komunikasi orang sepantaran, ragam bahasa formal lisan biasanya ditinggalkan lantaran dianggap terlalu kaku.
Orang mencari cara komunikasi yang lebih luwes, setara, intim, dan cair. Maka muncullah bahasa pergaulan atau tongkrongan.
Sumber bahasa pergaulan beragam. Ada dari bahasa asing seperti "on the way, "crowded", dan "meet up" yang disebut bahasa Anak Jaksel. Ada pula dari bahasa Prokem yang berkembang pada dekade 1980-an. Contohnya "sendokiran" (sendirian) dan "sokin" (sini). Terakhir, dari bahasa Binan.
Bahasa Binan adalah ragam bahasa yang berkembang di kalangan kaum waria (wanita-pria) dan gay pada dekade 1960-an. Menurut Dede Oetomo dalam "Embroong...!!! Bahasa Binan: Main-Main yang Melawan", bahasa Binan mempunyai pembentukan kata melalui dua proses besar.
"(1) Proses perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa Indonesia; dan (2) proses penciptaan kata atau istilah baru ataupun pergeseran makna kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia," terang Dede termuat dalam Memberi Suara Pada yang Bisu.
Baca juga:

Dari dua pembentukan besar itu, bahasa Binan terbagi lagi atas enam pembentukan kecil lainnya.
Pembentukan pertama sering ditemukan di Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan beberapa kota berbasis budaya Jawa. Umumnya perubahan bunyi pada suku kata terakhirnya. Suku kata pertama dipertahankan.
"Bilamana sukukata pertama berakhir dengan vokal, maka konsonan pertama sukukata berikutnya dipertahankan pula. Kemudian pada awal potongan itu ditambahkan awalan si-." tambah Dede.
Contohnya "banci" jadi "siban", "lanang" (laki-laki) jadi "silan", "wedok" (perempuan) jadi "siwed", "homo" jadi "sihom".
Pembentukan jenis pertama lainnya adalah mengubah sukukata terakhir sehingga berakhir dengan -ong (pembentukan jenis kedua) atau -es (pembentukan jenis ketiga), dan mengubah bunyi/huruf vokal sukukata sebelumnya dengan -e. Dua jenis pembentukan ini hampir ditemukan di semua kota di Indonesia yang terpengaruh bahasa Indonesia Jakarta.
Contohnya "laki" jadi "lekong", "homo" jadi "hemes", "gratis" jadi "gretong", dan "banci" jadi "bencong".
Variasi pembentukan lainnya adalah mengganti akhiran -ong dan -es dengan i. Contohnya digunakan untuk mengganti kata-kata yang digunakan pada organ reproduksi manusia.
Jenis pembentukan keempat biasanya hanya dipakai di Jakarta dan Bandung. Pembentukannya dengan menyisipkan -in- sesudah konsonan awal sukukata pada kata tertentu sehingga kata menjadi dua kali lebih panjang. Kemudian kata yang panjang itu dipendekkan lagi.
Contohnya "bule" ke "binuline" jadi "binul", "lesbi" ke "linesbini" jadi "lines", "gay" jadi "ginay.
Jenis pembentukan kelima mirip dengan jenis pertama. Kata asal dipotong sehingga hanya tinggal sukukata pertama (kalau sukukata pertama berakhir dengan vokal) dan konsonan pertama sukukata berikutnya.
Contohnya "homo" ke "hom" jadi "homse", "Sombong" jadi "somse", "Cina" ke "Cin" jadi "Cinse".
Pembentukan terakhir muncul kali pertama di Medan. Caranya mempertahankan sukukata atau bagian sukukata awal kata dasar. Selebihnya diubah seolah-olah kata lain.
Contohnya "sundal" ke "sund-" jadi "sundari", "enak" ke "en-" jadi "endang", "sekali" ke "s-" jadi "sutra", "emang" ke "em" jadi "ember".
"Jenis yang inilah yang pada dekade 1990-an amat populer, berkembang pesat dan meluas di seantero Nusantara dan kemudian dipakai sebagai bahasa gaul," terang Dede.
Baca juga:

Televisi dan radio pun turut menyebarluaskan kosakata bahasa Binan. "Lalu beberapa film layar lebar menyuguhkannya sebagai tontonan lucu yang menyegarkan. Misalnya dalam tokoh Emon dalam Catatan Si Boy," catat Merdeka, 17 September 1999.
Catatan Si Boy adalah film drama roman Indonesia yang rilis pada 1987. Kisahnya tentang Boy, anak Jakarta yang kaya raya dan religius. Dia punya teman bertubuh lelaki bernama Emon yang berbahasa secara berbeda dan berkelakuan agak feminin.
Gaya Emon inilah yang membedakan bahasa Binan dari bahasa tutur lainnya. "Ciri pembeda bahasa Binan di atas peringkat tatabunyi dan kosakata adalah intonasi agak centil (atau sangat centil, bergantung pada penuturnya) dalam berbicara, serta juga pada sebagian penuturnya, kebiasaan latah yang sesungguhnya atau yang dibuat-buat," ulas Dede.
Bahasa Binan sering dinilai sebagai bahasa rahasia, kode, perlawanan, sekaligus juga rekreasi. Dikatakan rahasia sebab bahasa ini bermula pada komunitas terbatas. Dibilang kode lantaran bahasa ini untuk mengenali anggota komunitas tertentu.
Disebut perlawanan tersebab bahasa ini menggunakan sejumlah nama menteri atau orang terkenal untuk diplesetkan ke kosakata yang menjurus vulgar. Dianggap rekreasi karena bahasa ini kerap mengolah kata secara kreatif sekaligus lucu.
Misalnya mengganti kata "AIDS" jadi "aida mustapha", "berak" jadi "belina", "duta besar" jadi "deborah", "kasar" jadi "kassandra", "munafik" jadi "munawir" "ejakulasi dini" jadi "peltu" (nempel metu/keluar) atau "sertu" (geser metu/keluar), "silit" jadi "susilo", dan "murah" jadi "mursida".
Setelah berkembang dan dipakai oleh masyarakat umum, bahasa Binan lalu dikumpulkan dalam kamus. Aktris Debby Sahertian menerbitkan kosakata bahasa Binan dalam Kamus Bahasa Gaul pada 1999.
Bahasa ini terus berkembang, diolah, dan diterima secara luas hingga sekarang di berbagai kalangan dan media sosial. Salah satu tokoh kiwari yang aktif mengembangkan bahasa Binan menjadi bahasa gaul adalah Elmand Aditya atau @elmandsipasi. (dru)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
11 Bahasa Daerah Punah

Kemendikbudristek Bakal Gelar Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional

Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, Pentingnya Cara-Cara Kreatif Pelestarian Bahasa Ibu

Italia Larang Bahasa Inggris, Menggunakannya Akan Didenda Rp 1,6 M

Mompreneurs Hub Bantu Ketahanan Finansial bagi Ibu Tunggal

Bahasa Binan, Cikal Bakal Bahasa Gaul Generasi Z
