AS Keluhkan Banyaknya Barang Palsu, Ekonom: Momentum Perbaiki Sistem Perlindungan HAKI di Indonesia
Ilustrasi item fesyen. (Foto: Unsplash/Tamara Bellis)
MerahPutih.com - Kritik pemerintah Amerika Serikat pada pasar fisik domestik Indonesia yang marak menjual barang palsu menuai sorotan. Ekonom Achmad Nur Hidayat menilai, hal tersebut merupakan kritik keras yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh pemerintah Indonesia.
Ia menganggap isu kompleks tersebut telah menyentuh berbagai aspek, baik dari perdagangan internasional, penegakan hukum, hingga dinamika ekonomi mikro pelaku usaha kecil.
“Tuduhan AS memang keras, tapi bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem perlindungan HAKI di Indonesia,” ungkap Achmad kepada wartawan di Jakarta dikutip Selasa (22/4).
Menurut Achmad, penertiban pasar dari barang palsu harus disertai pemberdayaan ekonomi yang konkret, agar Indonesia bukan hanya dilihat sebagai pasar besar, tapi juga sebagai negara yang adil bagi semua pelaku usahanya.
Sementara itu, Amerika Serikat tentu punya kepentingan strategis yakni melindungi brand dan industri mereka dari erosi nilai akibat pemalsuan.
Baca juga:
Kemendag Bakal Menegakkan Hukum Terkait Barang-barang Palsu di Mangga Dua
Ketika barang palsu yang meniru merek-merek Amerika masuk dan dijual bebas di Indonesia, mereka tidak hanya kehilangan potensi penjualan, tetapi juga menghadapi degradasi reputasi merek.
“Ini yang mendorong AS untuk menekan negara seperti Indonesia agar memperkuat perlindungan HAKI, meski negara asal produksi seperti China tidak disentuh secara frontal karena kompleksitas hubungan dagang yang lebih besar,” ungkap Achmad.
Sejalan dengan itu, lemahnya penindakan dan masalah structural di E-commerce terhadap barang palsu di Indonesia masih jauh dari kata optimal. Banyak pelaku usaha menjual barang tiruan secara terang-terangan di marketplace besar tanpa takut sanksi.
Ketidakhadiran sistem filtering yang efektif, lemahnya pengawasan dari pemerintah, serta kurangnya insentif bagi platform digital untuk membersihkan diri dari pedagang ilegal menjadi akar masalah.
Baca juga:
Alhasil perdagangan digital menciptakan ruang gelap (black box) di mana identitas pelaku dan asal barang sulit ditelusuri.
“Ini memerlukan pembaruan regulasi digital dan kolaborasi aktif antara pemerintah, penyedia platform, dan pemegang hak kekayaan intelektual,” ungkapnya.
Tanpa itu, Achmad menyebut platform e-commerce akan terus menjadi jalur aman bagi pelaku pemalsuan.
“Untuk itu pemerintah harus proaktif, bukan reaktif,” terang Achmad.
Sekadar informasi, dalam laporannya, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mengklaim pemerintahan Indonesia dianggap gagal menertibkan peredaran barang palsu dan bajakan, serta tidak cukup melindungi hak kekayaan intelektual.
Bahkan, USTR secara spesifik dalam laporannya menyebut Pasar Mangga Dua dan E-commerce Indonesia masuk dalam daftar Notorious Markets atau pasarnya barang palsu/bajakan, yang longgar regulasinya menjadi titik temu antara produksi luar dan konsumsi domestik. (Knu)
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
Warga Asal Negara Dengan Pemerintahan Tidak Stabil Bakal Sulit Masuk AS
Lawan Rencana Agresi Militer AS ke Venezuela, Kuba: Kawasan Amerika Latin-Karibia Zona Damai
Trump Ultimatum Maduro Segera Tinggalkan Venezuela, AS Bersiap Lakukan Operasi Darat
4 Dari 14 Orang Korban Penembakan di California Utara Meninggal, Penembakan Terjadi Saat Ulang Tahun
Airlangga Sebut Indonesia Tujuan Investasi, Buktinya AS sudah Tertarik
Pembahasan Tarif Ekspor ke AS Belum Rampung, Airlangga Ingin Beberapa Komoditas Nol Persen
AS Kerahkan Kapal Induk ke Karibia, Venezuela Mobilisasi 200.000 Personel Militer
Shut Down Pemerintahan masih Lanjut, Ribuan Penerbangan di AS Dibatalkan
AS Kembali Percaya Ekspor Udang Indonesia Setelah Diterpa Isu Radioaktif Cs-137
Zohran Mamdani Resmi Terpilih sebagai Wali Kota New York, Tercatat sebagai Termuda dan Prokemerdekaan Palestina