Perlunya Dibentuk Mahkamah Etika Nasional di Indonesia


Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie. (Dok. BPIP)
MerahPutih.com - Indonesia dinilai sudah saatnya memiliki lembaga yang khusus menagani pelanggaran etika, yaitu Mahkamah Etika Nasional. Lembaga ini dianggap diperlukan guna memperbaiki kerapuhan etika penyelenggara negara.
Hal itu ditegaskan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie. Jimly mengungkapkan, sejak 2009, ia telah berulang kali mempromosikan pentingnya menata sistem etika di Indonesia.
Namun, hingga kini, tidak ada usaha nyata dari pemerintah untuk mewujudkan rekomendasi yang sudah tertuang dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Tap tersebut secara eksplisit mengamanatkan kepada presiden, penyelenggara negara, dan masyarakat untuk menegakkan etika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga:
Komisi II DPR Pastikan Revisi PKPU Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
"Sampai sekarang tidak ada yang mengerjakan teknisnya," ujar Jimly dalam salah satu acara diskusi di Makassar, Sulawesi Selatan, dikutip Rabu (18/9).
Menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu, momentum saat ini sangat tepat untuk memulai pembentukan Mahkamah Etika Nasional.
“Lembaga ini diharapkan bisa menjawab persoalan etika yang melanda berbagai sektor publik di Indonesia,” jelas Jimly.
Jimly menambahkan, pelanggaran etika bukan hanya terjadi di kalangan penyelenggara negara, tetapi juga di berbagai organisasi profesional dan sektor publik lainnya.
"Etika jabatan publik lebih luas dari sekadar etika penyelenggara negara. Ada masalah serius di berbagai sektor, dari polisi hingga partai politik, bahkan di dunia kesehatan dan organisasi profesional," jelas Jimly.
Ia percaya Mahkamah Etika menjadi institusi yang berperan penting dalam menjaga integritas pejabat publik dan penyelenggara negara.
Baca juga:
Suku Awyu dan Moi Sigin Serahkan Petisi Publik ke Mahkamah Agung
"Undang-undang ini akan mengatur substansi etika dan infrastruktur pendukungnya, tidak hanya menyangkut penyelenggara negara, tetapi juga semua jabatan publik," tegasnya.
Sementara itu Hakim Agung sekaligus Guru Besar Hukum di Universitas Krisnadwipayana, Topaen Gayus Lumbuun menekankan pentingnya etika dalam kehidupan berbangsa.
Menurut Gayus, etika muncul ketika hukum tidak lagi mampu mengatasi persoalan yang terjadi, terutama ketika menghadapi krisis multidimensi seperti yang dialami Indonesia pada 1998.
"Secara etika, sangat mungkin sebuah kebijakan menjadi lebih bijaksana daripada sekadar mengikuti aturan hukum. Namun, apakah kebijaksanaan penyelenggara negara selalu berjalan baik? Ternyata tidak," kata Gayus.
Gayus juga menyoroti bagaimana etika sosial, hukum, ekonomi, politik, dan lingkungan harus ditegakkan sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga:
Ia mengingatkan tentang pentingnya Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 yang memuat rekomendasi tentang penegakan etika dalam berbagai bidang tersebut. (Knu)
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
Perlunya Dibentuk Mahkamah Etika Nasional di Indonesia

Pesan Penting dari Putusan MKMK: Harus Ada Perbaikan dan Pembenahan di Internal MK

TKN Tegaskan Pasangan Prabowo-Gibran Berlayar dengan Baik di Pilpres 2024

Hakim MK Saldi Isra Diputuskan Tak Langgar Etik soal Dissenting Opinion Usia Capres

Todung Mulya Lubis Sebut MKMK Bisa Berhentikan Ketua MK
Jimly Sebut Ketua MK Anwar Usman Terbukti Bersalah

Hakim MK Wahiduddin Dinilai Paling Bebas dari Tuduhan Langgar Kode Etik

Jimly Sebutkan 3 Opsi Sanksi MKMK Soal Pelangaran Etik

Majelis Kehormatan Percepat Putusan Laporan Pelanggaran Etik Hakim MK

Jimly Asshiddiqie Sebut Denny Indrayana Pantas Disanksi
