Alam Baka yang Ramah Lingkungan


Metode tradisional juga dapat memengaruhi kelestarian Bumi. (Pexels/Brett Sayles)
JIKA membicarakan kerusakan lingkungan, beragam jenis sampah pasti akan terlintas di otak kamu. Padahal dari upacara kematian dapat mencemari Bumi. Pada setiap ajaran kepercayaan selalu punya caranya masing-masing untuk memberi peristirahatan terakhir untuk orang yang meninggal.
Beberapa penganut kepercayaan tertentu lebih mengkremasi mayat dan sebagian lainnya menguburkannya di kawasan penguburan. Metode penguburan tradisional membahayakan planet ini dengan berbagai cara, tulis laman National Geographic.
Baca Juga:
Produk Fesyen yang dapat Terurai di Alam, Jaga Lingkungan Hidup

Biasanya, bahan kimia akan disuntikkan pada tubuh seseorang sebelum dikuburkan. Bahan kimia tersebut akan merusak bumi karena larut dalam tanah. Selain itu, peti mati yang digunakan juga membutuhkan kayu dan logam dalam jumlah besar dan biasanya kuburan akan dibangun kubah beton untuk melindunginya. Pada metode kremasi juga membutuhkan banyak bahan bakar dan menghasilkan jutaan ton emisi karbon dioksida setiap tahunnya.
“Saya berkomitmen untuk menjadikan tubuh saya kompos dan keluarga saya tahu itu,” jelas Howard Fischer yang dikutip dari CDS News. Ia tinggal di utara New York City dan memiliki keinginan saat meninggal ia ditempatkan di bejana, dipecahkan oleh mikroba kecil dan dikomposkan menjadi tanah yang subur.
“Apapun yang keluarga saya putuskan dengan kompos setelah selesai, terserah mereka,” tambahnya yang ingin sisa komposnya bisa ditanam di luar rumah keluarganya di Vermont. Menurutnya, metode penguburan hijau alternatif sejalan dengan pandangan filosofinya tentang hidup, yakni hidup dengan cara yang sadar lingkungan.
Berdasarkan sumber dari National Geographic, komunitas penduduk asli Amerika dan Yahudi secara tradisional menggunakan penguburan yang ramah lingkungan ini. Namun beberapa generasi terakhir, mereka ketinggalan zaman karena orang-orang lebih memilih menggunakan penguburan yang rumit. Metode penguburan ini biasanya almarhum akan mengenakan kain kafan 100 persen katun dan dimakamkan dalam kotak pinus polos.
Beberapa pertimbangan terhadap penguburan yang sederhana ini dapat berkontribusi pada penyebaran penyakit atau pencemaran tanah. Namun, WFO telah mengonfirmasi yang dikutip dari sumber yang sama, “tidak ada bukti bahwa mayat menimbulkan risiko penyakit endemik-kebanyakan tidak bertahan lama dalam tubuh manusia setelah kematian.”
Baca Juga:

Pengomposan manusia mengubah sisa-sisa tubuh manusia menjadi tanah melalui proses yang sangat terkontrol, proses ini berbeda dengan pengomposan sisa makanan yang biasa dilakukan di pekarangan. Dikutip dari CBS News, proses ini memasukkan jenazah ke bejana yang dapat digunakan kembali dengan bahan tanaman seperti serpihan kayu, alfalfa, dan jerami. Campuran organik menciptakan habitat yang sempurna bagi mikroba alami untuk melakukan pekerjaannya dengan cepat dan efisien agar dapat menghancurkan tubuh dalam waktu sekitar satu bulan.
Namun, metode penguburan ini ditentang oleh Konferensi Katolik Negara Bagian New York. Kelompok uskub tersebut telah lama menentang RUU tersebut dan menyebutnya metode penguburan “tidak pantas”. Mereka menyatakan metode ini sebagai metode penguburan yang tidak pantas karena menyamakan cara pengolahan sisa sayuran dengan tubuh manusia.
“Tubuh manusia bukanlah limbah rumah tangga dan kami tidak percaya bahwa proses tersebut telah memenuhi standar perlakuan hormat terhadap sisa-sisa duniawi kita,” kata Dennis Poust selaku direktur eksekutif organisasi tersebut yang dikutip dari sumber yang sama.
Recompose adalah sebuah rumah pemakaman hijau dan dilengkapi dengan layanan lengkap yang memberikan jasa untuk mengompos manusia. Katrina Spade sebagai pendiri rumah pemakaman hijau tersebut berpendapat bahwa ia menyediakan alternatif bagi orang yang ingin menyelaraskan keputusan mereka untuk cara mereka menjalani hidup. Ia mengatakan ini sebagai sebuah perubahan di antara orang yang peduli akan lingkungan.
“Kremasi menggunakan bahan bakar fosil dan penguburan menggunakan banyak lahan serta memiliki jejak karbon. Bagi banyak orang, mengubahnya menjadi tanah yang dapat digunakan untuk menumbuhkan taman atau pohon akan lebih berguna,” tutup Katrina Spade. (vca)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Samsung Sedang Kembangkan HP Lipat Baru, Bakal Saingi iPhone Fold

Sense Lite, Inovasi Baru JBL dengan Teknologi OpenSound dan Adaptive Bass Boost

Chip A19 dan A19 Pro Milik iPhone 17 Muncul di Geekbench, Begini Hasil Pengujiannya

Xiaomi 16 Pro Bisa Jadi Ancaman Buat Samsung Galaxy S26 Pro, Apa Alasannya?

OPPO Find X9 dan X9 Pro Bakal Hadir dengan Baterai Jumbo, Meluncur 28 Oktober 2025

Spesifikasi Lengkap iPhone 17: Hadir dengan Layar Lebih Besar dan Kamera Super Canggih

iPhone 17 Air Resmi Rilis dengan Bodi Tertipis, ini Spesifikasi dan Harganya

iPhone 17 Pro dan 17 Pro Max Punya Desain Baru, Pakai Chip A19 Pro dan Kamera 8x Zoom

iPhone 17 Air Masih Kalah dari Samsung Galaxy S26 Edge, Baterainya Jadi Sorotan

Desain OPPO Find X9 Terungkap, Bakal Bawa Bezel Baru dan Paling Tipis di Kelasnya
