Teori Denny JA soal Hubungan Agama dan Spiritualitas di Era Kecerdasan Buatan Segera Dipelajari di Perguruan Tinggi

Sabtu, 15 Februari 2025 - Frengky Aruan

MerahPutih.com -Mahasiswa akan mendapatkan mata kuliah baru yang berhubungan kecerdasan buatan (AI). Pasalnya, mulai semester genap 2025, pemikiran pengamat politik Denny JA mengenai agama dan spiritualitas di era kecerdasan buatan akan menjadi bagian dari kurikulum di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia.

“Materi ini akan diajarkan baik sebagai mata kuliah mandiri maupun sebagai bagian dari mata kuliah yang sudah ada,” jelas Denny JA dalam keteranganya, Sabtu (15/2).

Denny JA menyoroti bahwa di era AI, informasi mengenai agama dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh setiap individu. Hal ini berpotensi menggeser peran tradisional ulama, pendeta, dan biksu sebagai sumber utama pengetahuan agama.

“AI memungkinkan siapa pun untuk mengakses sejarah agama, berbagai tafsir alternatif, hingga kritik terhadap doktrin tanpa perlu perantara otoritas keagamaan,” kata Denny JA.

Situasi ini mendemokratisasi pengetahuan sekaligus menantang peran pemuka agama untuk lebih reflektif daripada dogmatis.

Dalam teorinya, Denny JA yang juga pendiri LSI ini mengemukakan tujuh prinsip utama mengenai agama dan spiritualitas di era AI. Pertama, Keyakinan Agama Tidak Berkorelasi dengan Kualitas Kehidupan Bernegara.

Negara yang religius tidak otomatis lebih bahagia atau bebas korupsi. Contohnya, negara-negara Skandinavia yang cenderung sekuler, mayoritas warganya tak menganggap agama penting.

Baca juga:

Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Denny JA Sama-Sama Berpengaruh di Mata AI

Namun, justru negara-negara tersebut memiliki indeks kebahagiaan dan bebas korupsi yang paling tinggi. Denmark, misalnya, meraih skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023 dengan 90 poin. Negara-negara Nordik juga kuat dalam indikator kebahagiaan seperti PDB per kapita, dukungan sosial, dan harapan hidup sehat.

Kedua, Agama Bertahan Bukan Karena Kebenaran Faktual, tetapi Makna Simbolis. Narasi agama tak jarang bertentangan secara historis, namun tetap bertahan karena menawarkan makna mendalam yang memberikan harapan dan identitas sosial.

Contohnya, Islam dan Kristen berbeda pandangan mengenai apakah Yesus mati disalib atau tidak. Atau siapa yang akan dikurbankan oleh Nabi Ibrahim, Ishak atau Ismail. Meskipun dua fakta tersebut bertentangan, keduanya tetap dipercaya oleh masing-masing penganutnya.

Perspektif yang berbeda dalam sejarah agama tetap bertahan, meskipun secara faktual tidak mungkin keduanya benar. Tapi fakta yang salah bisa diyakini oleh lebih dari satu milyar manusia, selama lebih dari seribu tahun.

Ketiga, Agama Bukan Lagi Satu-Satunya Panduan Hidup Bahagia dan Bermakna. Ilmu pengetahuan modern, seperti psikologi positif, menawarkan jalan lain menuju kebahagiaan berdasarkan riset.

Denny JA merumuskannya dalam formula 3P + 2S (Personal Relationship, Positivity, Passion, Small Winning, dan Spirituality).

Hidup yang bermakna bisa diperoleh dengan memiliki hubungan personal yang hangat, berpikir positif, memiliki passion atas hidupnya, memiliki sense of purpose, hingga mendalami spiritualitas.

Keempat, Era AI Mengubah Peran Otoritas Agama. Dengan akses informasi yang luas, individu menjadi lebih mandiri dalam menafsirkan iman mereka, mengurangi ketergantungan pada otoritas keagamaan tradisional.

Kelima, Agama Semakin Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama. Perayaan hari raya agama kini dirayakan secara sosial oleh semua orang, bukan hanya penganutnya, menunjukkan bahwa agama berkembang menjadi tradisi kultural.

Baca juga:

6 Prinsip Emas Spiritualitas di Era AI Denny JA, untuk Hidup dengan Harmoni hingga Berbagi Makna di Tengah Teknologi

Ada kecenderungan universalisasi pesan agama sehingga pesan agama itu juga bisa dinikmati oleh mereka yang bukan penganut agama itu. Meditasi yang awalnya dari tradisi Hindu dan Budha kini bisa dinikmati oleh mereka yang tak beriman kepada Hindu dan Budha.

Keenam, Tafsir Agama yang Bertahan adalah yang Selaras dengan Hak Asasi Manusia. Tafsir agama yang mendukung kesetaraan dan hak asasi manusia cenderung lebih diterima dan bertahan dalam masyarakat modern.

Dulu perbudakan, ketidak- setaraan lelaki dan perempuan pernah didukung oleh tafsir agama di zamannya. Tapi tafsir itu layu karena zaman lebih memilih tafsir yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

Ketujuh, Komunitas adalah Kunci Sosialisasi Gagasan Spiritual Baru. Gagasan spiritual hanya bertahan jika didukung oleh komunitas yang menghidupkannya, dengan merayakan nilai-nilai universal dan inklusif. (Knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan