Stockholm Syndrome, Kala Korban Malah Main Hati dengan Pelakunya

Minggu, 19 Februari 2023 - Ikhsan Aryo Digdo

INGAT peran Emma Watson sebagai Belle dalam film live action Beauty and the Beast yang tayang pada 2017? Dalam film tersebut, Beast pada dasarnya menyandera Belle di kastilnya. Uniknya, Belle mulai jatuh cinta kepadanya selama dia dipenjara.

Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai kisah tentang cinta sejati yang tak lekang oleh waktu, tetapi banyak orang melihat kisah tersebut sebagai contoh dari Stockholm Syndrome.

Stockholm Syndrome adalah respons psikologis di mana korban atau penyintas penyanderaan, penculikan atau kekerasan malah main hati dan membangun ikatan secara tak sadar dengan orang yang menyakitinya dan mengalami kesedihan jika sang pelaku kejahatan disakiti,” demikian menurut American Psychological Association.

Baca Juga:

Child-Free, Pilihan untuk Enggak Main Hati Sama Anak?

Orang yang mengalami respon psikologis ini juga bisa melihat penegak hukum atau penyelamat sebagai musuh karena mereka membahayakan sang penculik.

Stockholm Syndrome juga adalah respons psikologis yang umum dalam hubungan yang penuh kekerasan. (Foto: unsplash/sydney sims)

Mengutip dari Self, fenomena ini disebut sebagai Stockholm Syndrome akibat sebuah kasus ketika seorang perempuan yang disandera pada 1973 selama perampokan bank di Stockholm, Swedia menjadi sangat terikat secara emosional dengan salah satu anggota perampok. Ia sampai memutuskan pertunangannya dengan pria lain dan tetap setia kepada mantan penculiknya selama masa penjaranya.

Penggunaan kata Stockholm Syndrome mulai dipopulerkan oleh psikiater dan kriminolog asal Swedia Nils Bejerot (1921–1988). Mirisnya, fenomena Stockholm Syndrome saat ini tak hanya ditemukan pada kasus penculikan atau hal-hal yang berkaitan dengan tindakan kriminal saja. Kini, Stockholm Syndrome juga adalah respons psikologis yang umum dalam hubungan penuh kekerasan.

Seorang individu yang dilecehkan dapat mengembangkan keterikatan dengan pelakunya, sehingga sulit bagi mereka untuk pergi, bahkan jika mereka dalam bahaya.

Baca Juga:

Ketika Chatbots Memainkan Hati Penggunanya

Healthline memaparkan bahwa Stockholm Syndrome terjadi akibat terikatnya korban dengan sang pelaku. Hubungan psikologis yang berkembang selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun dapat membuat sandera atau korban pelecehan dapat bersimpati dengan penculiknya.

Selain itu, Good Therapy menjelaskan beberapa faktor yang mengambil peran dalam kemunculan fenomena ini. Salah satunya ialah ketika korban pelecehan percaya bahwa ada ancaman terhadap kelangsungan hidup fisik atau psikologis mereka.

Faktor selanjutnya adalah ketika korban penculikan diperlakukan secara manusiawi atau dibiarkan hidup, mereka sering merasa bersyukur dan mengaitkan kualitas positif dengan penculiknya yang percaya bahwa sang pelaku memang orang baik.

Jika kamu merasa memiliki sindrom Stockholm atau mengenal seseorang yang mungkin mengalaminya, segeralah berbicara dengan terapis. (Foto: Unsplash/linkedin sales solutions)

Perilaku baik dan buruk yang terputus-putus dapat menciptakan ikatan trauma. Stockholm Syndrome adalah salah satu bentuk ikatan trauma, yang membuat para korban seolah menunggu perilaku buruk untuk mendapatkan sedikit perilaku baik diberikan kepada mereka.

Faktor terakhir penyebab Stockholm Syndrome adalah korban terisolasi dari dunia luar. Dengan kondisi seperti itu, hanya input dari pelaku yang dilihat oleh korban dan mulai terganggu dengan realita kondisi sebenarnya.

Lantas, apa yang bisa dilakukan jika kita mengetahui bahwa kerabat atau orang terdekat kita sepertinya mengalami kondisi ini?

Dikutip dari WebMD, jika kamu merasa memiliki sindrom Stockholm atau mengenal seseorang yang mungkin mengalaminya, segeralah berbicara dengan terapis. Terapi dapat membantu seseorang melalui pemulihan, gangguan stres pascatrauma, kecemasan, dan depresi.

Seorang terapis juga dapat membantu seseorang untuk mempelajari mekanisme menghadapi dan membantu dalam memproses perasaan. Mereka juga dapat membantu seseorang untuk menetapkan kembali sikap dan emosi untuk memahami bahwa ini adalah mekanisme bertahan hidup yang akan digunakan kedepannya. (dsh)

Baca Juga:

Seniman AI Nigeria Hadirkan Fashion Show Model Lansia Afrika

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan