Refleksi 2021, Perjuangan dalam Interaksi Sosial Terus Berlanjut
Senin, 03 Januari 2022 -
SELAMA pandemi, kamu mengalami pasang surut dalam interaksi sosial. Naik turunnya kasus COVID-19 memengaruhi bagaimana kamu bersosialisasi. Apakah kamu harus di rumah saja atau boleh berkumpul dengan teman dan keluarga, semua ada aturannya.
Berikut merupakan refleksi tahun 2021 dari semua yang kamu hadapi di tahun 2021. Pasang surut harapan, kekecewaan, dan segala sesuatu di antaranya. Ini bukan tahun di mana kita mulai berbicara tentang kesehatan mental. Tetapi ini adalah tahun yang memantapkan topik dalam kesadaran kolektif, bersama-sama menciptakan interaksi sosial yang lebih sehat secara fisik dan mental.
Baca Juga:
Kesehatan mental

Sering dikatakan bahwa kompetisi menghasilkan keunggulan, dan mengingat penghargaan kolektif terhadap atlet yang tampil di puncak permainan mereka. Keunggulan tampaknya menjadi tujuan yang layak untuk diperjuangkan. Kamu mengagumi atlet terbaik sebagai idola, menyebut nama mereka, mengenakan kaus mereka, bahkan membuat patung mereka.
Namun, lebih dari sebelumnya, atlet dan selebritas lain berbicara tentang kesehatan mental mereka dengan cara yang mencerminkan masalah yang dihadapi banyak orang sehari-hari. Mereka mengalami tekanan harian yang sama yang kamu semua hadapi untuk tampil di tempat kerja, sukses dalam hidup dan cinta.
Tahun 2021, bintang tenis Naomi Osaka mengundurkan diri dari Prancis Terbuka dan Kejuaraan Wimbledon, dengan alasan kecemasan dan depresi. Juara Olimpiade Simone Biles mengundurkan diri dari beberapa kompetisi senam di Tokyo ketika koneksi pikiran-tubuhnya tidak lagi memungkinkannya untuk tampil dengan aman.
Pada tahun 2021, para atlet ini dan banyak lainnya memberi tahu dunia bahwa mereka memiliki hak yang sama atas kesehatan mental seperti kita semua. Dan sementara beberapa publik menanggapi dengan kebingungan atau bahkan kemarahan, sebagian besar dunia bertepuk tangan.
Kelelahan sangat

Tuntutan ekonomi dan peningkatan karier membuat banyak orang terus-terusan lebur dan memperpanjang jam kerja hingga ke rumah. Pandemi hanya memperburuk perasaan burnout kelelahan dan stres kerja ini.
Karena konferensi video menggantikan pertemuan tatap muka selama lebih dari setahun, zoom fatigue menjadi diagnosis tidak resmi dari beban fisik dan mental yang kamu rasakan sebagai akibat dari genanganan 'screen time'. Batas antara pekerjaan dan kehidupan menjadi semakin kabur.
Dengan pandemi COVID-19 yang menggerakkan banyak pertemuan bisnis, kelas, dan bahkan pertemuan sosial secara daring, orang-orang tiba-tiba menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan perangkat lunak konferensi video seperti Zoom. Meskipun Zoom dan platform serupa telah digunakan selama bertahun-tahun, fenomena zoom fatigue baru-baru ini mendapat liputan media yang luas. Dan, pada pada Februari 2021, uangkapan itu mendapat halaman Wikipedia.
Baca Juga:
Keluarga kekerasan

Seperti yang terjadi di sebagian besar wilayah, pandemi juga menguji kehidupan cintamu. Sementara banyak pasangan berkembang saat mereka bekerja, makan, dan beradaptasi bersama dalam jarak dekat dalam satu rumah, banyak juga yang mengalami banyak tantangan. Pada awal tahun, Verywell Mind menyurvei lebih dari 1.200 pembaca tentang berkencan dan hidup bersama selama pandemi untuk memahami bagaimana hubungan mereka bertahan.
Ditemukan, 27 persen responden melaporkan bahwa pandemi telah memperburuk hubungan mereka, dan meskipun ini mungkin tidak tampak seperti angka yang signifikan pada awalnya, statistik ini dapat memberikan gambaran yang lebih gelap dalam dampak COVID-19 pada pasangan yang tinggal bersama.
Lebih dari setahun terkurung di dalam ruangan, rumah bukanlah tempat yang aman bagi semua orang. Jumlah insiden kekerasan dalam rumah tangga di AS meningkat sebesar 8,1 persen setelah perintah kuncitara, menurut analisis yang dirilis National Commission on COVID-19 and Criminal Justice (NCCCJ) pada bulan Februari.
Sementara itu di Indonesia, selama pandemi COVID-19, kasus KDRT mengalami kenaikan. Menurut catatan Komnas Perempuan, KDRT terhadap perempuan naik sebesar 75% selama pandemi tahun 2020. Dan menurut catatan YLBH APIK, mayoritas kasus KDRT terjadi terhadap perempuan sebanyak 90 kasus setiap bulan.
Media sosial buruk

Media sosial untuk tahun pertama dan kedua pandemi tidak sama. Di bulan-bulan awal kuncitara, kita bersatu di sekitar penderitaan kolektif karantina. Kita di rumah saja dan belajar menari untuk di-posting di TikTok. Kita semua berjuang bersama dan media sosial menjadi tempat yang mengasyikan untuk berinteraksi di tengah interaksi luring yang masih dilarang.
Setelah vaksinasi disetujui dan apa yang disebut back to normal dimulai, segala keburukan media sosial kembali menghantam dengan kecemasan dan penilaian diri yang menyertainya.
Instagram khususnya sangat keras pada gadis remaja, yang mengembangkan citra tubuh dan rasa penerimaan diri sangat rentan. September lalu, dokumen internal yang bocor menunjukkan bahwa Facebook (sekarang Meta) tahu bahwa Instagram secara konsisten memiliki efek negatif pada kesehatan mental gadis remaja. Ada 32 persen remaja mengatakan bahwa ketika mereka merasa buruk tentang tubuh mereka, Instagram membuat mereka merasa lebih buruk.
Orang dewasa juga tidak kebal dari efek ini. Dalam sebuah penelitian bulan November, penggunaan media sosial dikaitkan dengan peningkatan tingkat depresi pada sembilan persen individu yang sebelumnya tidak melaporkan gejala depresi. Snapchat, Facebook, dan TikTok disebut-sebut sebagai pelanggar terbesar.
Media sosial tidak melambat, jadi kamu harus lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial, dan lebih berhati-hati dengan apa yang kamu konsumsi setiap hari. (aru)
Baca Juga: