Profil Antasari Azhar: Figur Idealistis di Tengah Badai Hukum
Sabtu, 08 November 2025 -
MerahPutih.com - Kabar duka menyelimuti dunia hukum Indonesia. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007–2009, Antasari Azhar, meninggal dunia pada usia 72 tahun, Sabtu (8/11/2025).
Berita wafatnya dikonfirmasi oleh sahabat dekatnya, Boyamin Saiman, yang membenarkan bahwa Antasari berpulang di kediamannya di Tangerang.
“Iya, iya. Ini mau disolatkan di Masjid As Syarif habis Ashar,” ujar Boyamin saat dikonfirmasi.
Menurut Boyamin, salat jenazah akan dilaksanakan di Masjid As Syarif, kawasan BSD, Tangerang Selatan.
Baca juga:
Profil Antasari Azhar
Sosok dan Latar Belakang Kehidupan
Antasari Azhar lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 18 Maret 1953, dari pasangan H. Azhar Hamid, S.H. dan Hj. Asnani (alm.). Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.
Ayahnya diketahui pernah menjabat sebagai kepala kantor pajak di Bangka Belitung, yang turut membentuk kedisiplinan dan integritasnya sejak kecil.
Masa kecil Antasari dihabiskan di Pulau Belitung. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar pada 1965, ia melanjutkan SMP dan SMA di Jakarta, lulus pada 1971.
Ia kemudian kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Jurusan Tata Negara, dan lulus pada 1981.
Semasa kuliah, Antasari dikenal aktif berorganisasi menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa, Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa, dan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Ia bahkan mengakui dirinya pernah menjadi demonstran pada tahun 1978, masa ketika gerakan mahasiswa gencar menyuarakan reformasi politik.
Baca juga:
Riwayat Pendidikan dan Pengalaman Internasional
Selain pendidikan formal, Antasari juga memperluas wawasan hukumnya melalui berbagai pelatihan internasional.
Ia pernah mengikuti program Commercial Law di University of New South Wales, Sydney, dan Investigation for Environmental Law di EPA Melbourne, Australia.
Bekal pendidikan dan pengalaman tersebut menjadikannya salah satu jaksa dengan reputasi kuat di bidang hukum publik dan pemberantasan korupsi.
Awal Karier di Kejaksaan
Antasari memulai karier sebagai pegawai di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman pada tahun 1981.
Empat tahun kemudian, ia resmi menjadi Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (1985–1989).
Perjalanan kariernya terus menanjak dari Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang (1989–1992), Kejati Lampung (1992–1994), hingga menjabat Kasi Pidana Khusus di Kejari Jakarta Barat (1994–1996).
Puncak karier di daerah diraihnya saat dipercaya menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Baturaja (1997–1999), sebelum akhirnya bergabung ke Kejaksaan Agung sebagai pejabat struktural.

Menjadi Figur Publik dan Ketua KPK
Nama Antasari Azhar mulai dikenal luas publik saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (2000–2007).
Meski pernah menuai kritik karena gagal mengeksekusi Tommy Soeharto, ia tetap dianggap sebagai jaksa yang berani dan profesional.
Baca juga:
Antasari Azhar Sebut Pimpinan KPK Cengeng seperti Anak Kecil
Pada tahun 2007, ia terpilih sebagai Ketua KPK setelah mengungguli Chandra M. Hamzah dengan perolehan 41 suara dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR.
Kepemimpinannya di KPK ditandai dengan berbagai gebrakan besar, termasuk penangkapan:
-
Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kasus suap BLBI,
-
Anggota DPR Al Amin Nur Nasution dalam kasus pelepasan hutan lindung di Sumatera Selatan.
Langkah-langkah berani itu membuat KPK semakin disegani, sekaligus menjadikan Antasari sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi di era reformasi.
Kasus Pidana dan Kontroversi
Pada 2009, Antasari terjerat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran.
Ia dituduh melakukan pembujukan yang berujung pada kematian Nasrudin.
Antasari membantah keras tuduhan itu dan menyatakan tetap setia kepada istrinya, Ida Laksmiwati, menolak motif perselingkuhan yang dituduhkan.
Namun, pada 11 Februari 2010, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya 18 tahun penjara, setelah tuntutan hukuman mati tidak dikabulkan.
Baca juga:
Dalam putusan majelis hakim disebutkan bahwa unsur “turut serta dan dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain” telah terpenuhi.
Meski begitu, banyak pihak menilai kasus ini tidak murni hukum, melainkan sarat dengan kriminalisasi terhadap KPK, terutama karena saat itu lembaga tersebut tengah mengusut kasus yang melibatkan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Upaya Hukum dan Peninjauan Kembali
Pada 6 September 2011, Antasari mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan membawa bukti baru atau novum.
Bukti itu mencakup hasil visum yang menunjukkan tiga luka tembak berbeda di tubuh korban, foto posisi mobil korban, serta analisis SMS ancaman yang dinilai tidak berasal dari nomor pribadinya.
Meski argumentasinya dianggap kuat oleh sejumlah pakar hukum, Mahkamah Agung tetap menolak PK tersebut dengan alasan bukti tidak memenuhi syarat sebagai novum.
Baca juga:
Profil Teuku Faisal Fathani, Kepala BMKG Baru yang Dikenal Jago Deteksi Ancaman Bencana Alam
Akhir Hayat
Sebelum berpulang, Antasari dikabarkan telah lama sakit. “Sakit sudah agak lama juga,” ujar Boyamin Saiman.
Ia dikenal sebagai sosok idealis yang gigih memperjuangkan integritas hukum, meski sempat tersandung kasus yang mengguncang karier dan nama baiknya.
Warisan terbesar Antasari adalah semangatnya dalam membangun lembaga antikorupsi yang independen dan berani melawan kekuasaan.
Terlepas dari kontroversinya, banyak kalangan masih menilai Antasari sebagai figur penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.