Perubahan Iklim ‘Membunuh’ 16.500 Orang Selama Musim Panas di Eropa
Jumat, 19 September 2025 -
MERAHPUTIH.COM — KOTA-kota di Eropa mencatatkan 16.500 kematian selama musim panas. Para Ilmuwan menyebut kenaikan suhu akibat perubahan iklim yang disebabkan manusia bertanggung jawab atas kematian tersebut. Para ahli menggunakan pemodelan untuk memproyeksikan jumlah korban sebelum data resmi dirilis.
Studi yang diproduksi cepat ini merupakan upaya terbaru peneliti iklim dan kesehatan untuk segera mengaitkan jumlah kematian selama gelombang panas dengan pemanasan global. Data ini didapat tanpa harus menunggu berbulan-bulan atau bertahun-tahun hingga diterbitkan di jurnal ilmiah yang ditinjau sejawat.
Perkiraan kematian ini bukanlah data yang benar-benar tercatat di kota-kota Eropa, melainkan proyeksi berdasarkan metode seperti pemodelan yang digunakan dalam studi sebelumnya yang telah ditinjau sejawat. Jumlah korban jiwa selama gelombang panas diyakini sangat diremehkan karena penyebab kematian yang tercatat di rumah sakit biasanya berupa masalah jantung, pernapasan, atau gangguan kesehatan lain yang terutama memengaruhi lansia saat suhu melonjak.
Untuk mendapatkan gambaran musim panas ini, tim peneliti berbasis di Inggris menggunakan pemodelan iklim untuk memperkirakan bahwa pemanasan global membuat suhu rata-rata meningkat 2,2 derajat celsius di 854 kota Eropa antara Juni dan Agustus. Berdasarkan data historis yang menunjukkan bagaimana lonjakan suhu semacam itu meningkatkan angka kematian, tim memperkirakan ada sekitar 24.400 kematian berlebih di kota-kota tersebut pada periode itu.
Baca juga:
Perubahan Iklim makin Nyata, Kenaikan Permukaan Laut Ancam 1,5 Juta Warga Australia pada 2050
Mereka kemudian membandingkan angka tersebut dengan perkiraan jumlah kematian di dunia tanpa pemanasan 1,3 derajat celsius akibat perubahan iklim yang disebabkan pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia. Hampir 70 persen, atau 16.500, dari perkiraan kematian berlebih itu disebabkan pemanasan global. Demikian disebut studi atribusi cepat tersebut, dikutip BBC.
Studi dari para ilmuwan di Imperial College London dan ahli epidemiologi di London School of Hygiene & Tropical Medicine menyebut temuan ini berarti perubahan iklim dapat menaikkan tiga kali lipat jumlah kematian akibat panas musim panas ini.
Tim tersebut sebelumnya telah menggunakan metode serupa dan menemukan hasil yang mirip untuk satu gelombang panas di Eropa yang dimulai pada akhir Juni. Para peneliti mengatakan mereka tidak bisa membandingkan perkiraan ini dengan data kematian berlebih aktual yang tercatat di kota-kota Eropa musim panas ini karena sebagian besar negara membutuhkan waktu lama untuk memublikasikan data tersebut.
“Tidak mungkin mendapatkan statistik real-time sekarang, tapi perkiraan ini berada di kisaran yang tepat,” kata salah seorang penulis studi, Friederike Otto, dalam sebuah konferensi pers.
Dampaknya Bahkan Lebih Mengkhawatirkan
Perkiraan ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang telah ditinjau sejawat, seperti studi di Nature Medicine yang menyimpulkan ada lebih dari 47.000 kematian terkait dengan panas selama musim panas 2023 di Eropa. Sejumlah peneliti iklim dan kesehatan terkemuka juga mendukung studi ini.
“Hal yang membuat temuan ini bahkan lebih mengkhawatirkan yakni bahwa metode yang digunakan dalam studi atribusi ini secara ilmiah kuat, tapi konservatif,” kata peneliti ilmu atmosfer Akshay Deoras dari University of Reading, Inggris.
“Jumlah korban sebenarnya bisa jadi lebih tinggi,” katanya.
Studi tersebut menyebut Roma memiliki perkiraan jumlah kematian terkait dengan perubahan iklim terbanyak dengan 835, diikuti Athena dengan 630, dan Paris dengan 409. Lebih daripada 85 persen dari perkiraan kematian berlebih ini terjadi pada orang berusia 65 tahun ke atas.
Para peneliti menekankan studi ini tidak mewakili seluruh Eropa karena beberapa wilayah, seperti Balkan, tidak termasuk.
“Kenaikan suhu gelombang panas hanya 2 hingga 4 derajat celsius dapat menjadi perbedaan antara hidup dan mati bagi ribuan orang. Itulah sebabnya gelombang panas dikenal sebagai pembunuh senyap,” kata salah seorang penulis studi, Garyfallos Konstantinoudis.
Tahun ini menjadi musim panas terpanas keempat yang tercatat di Eropa.(dwi)
Baca juga:
Perubahan Iklim, Pakistan Dilanda Banjir Mematikan Membuat Lebih dari Dua Juta Orang Dievakuasi