Perkembangan Industri Film Indonesia, Sempat Mati Suri
Sabtu, 30 Maret 2019 -
MESKI perlahan, saat ini industri perfilm Indonesia mulai bangkit. Beberapa karya bahkan tembus ke pasar internasional. Misalnya The Raid, Pengabdi Setan, Suzzana: Bernapas Dalam Kubur, Sekala Niskala, Battle of Surabaya dan masih banyak lagi.
Tak hanya itu saja, beberapa aktor dan aktris Indonesia sudah go Internasional. Misalnya Iko Uwais, Yayan Ruhian, Joe Taslim yang sudah terlibat dalam film Hollywood. Atau Chelsea Islan, aktris Indonesia pertama yang menjalin kerjasama dengan rumah produksi Jepang.
Namun, keberhasilan industri film Indonesia tidak didapat begitu saja. Perfilman Indonesia juga sempat mengalami keterpurukan. Bahkan saat itu, banyak penggemar film yang seperti 'alergi' ketika mendengar film buatan anak bangsa.
1. Dominasi asing di fase awal perfilman Indonesia

Sejarah panjang perfilman Indonesia sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Film pertama yang dibuat adalah film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng di tahun 1926 oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film tersebut didukung oleh aktor lokal yang merupakan anak-anak dari Bupati Bandung Wiranata Kusuma II.
Selang beberapa tahun muncul sutradara dari industri film Shanghai bernama Nelson Wong membuat film Lily van Java (1928) untuk perusahaan South Sea Film Co. Setelah itu kedua adiknya, Joshua dan Otniel Wong menyusul untuk membuat perusahaan Halimoen Film.
Kemudian tahun 1931, sutradara bernama The Teng Chun membuat terobosan untuk memproduksi film bicara berjudul Boenga Roos dari Tcikembang. Sayangnya, percobaan itu tidak membuahkan hasil yang baik. Di tahun yang sama Halimoen Film juga membuat film berbicara berjudul Indonesia Malaise.
Di saat penjajahan Jepang, produksi film di Indonesia dimanfaatkan oleh mereka sebagai propaganda politik. Tahun 1942, perusahaan Nippon Eigha Sha hanya memproduksi tiga film yakni Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam.
Sedikitnya produksi film buatan Jepang dan matinya usaha swasta membuat mata pencarian para artis dan karyawan film hampir tidak ada. Bagi yang sudah mencintai dunia seni peran, mereka menggantungkan hidupnya dari panggung sandiwara. Sementara yang lain mencoba banting setir ke profesi lain.
2. Sineas lokal mulai bermunculan

Geliat industri film Indonesia terus mengalami kemajuan. Hanya saja saat itu produksi film masih dipengang perusahaan dan sutradara asing. Hingga di 30 Maret 1950 pengambilan gambar pertama kali dilakukan sutradara asli Indonesia Usmar Ismail untuk film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi. Tanggal bersejarah ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Selain sutradara, film tersebut juga dibawahi oleh perusahaan milik orang Indonesia bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Kemudian karena pemilik bioskop masih didominasi kalangan non pribumi, di tahun 1955 dibentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI). Setelah itu mereka melebuh menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).
Seiring berjalannya waktu, industri film tanah air mengalami pasang surut. Misalnya saat menjelang pergantian Orde Lama ke Orde Baru. Karena gejolak politik jumlah bioskop menurun drastis. Ditambah lagi inflasi yang sangat besar dan kebijakan sanering di tahun 1966.
Geliat perfilman Indonesia mulai naik saat era 70-an hingga 90-an awal. Saat itu perfilman Indonesia bahkan bisa bersaing dengan karya-karya dari luar negeri. Hanya saja raksasa bioskop bermodal besar yakni Studio 21 membuat monopoli dan mematikan bioskop-bioskop kecil. Di masa ini pula mulai bermunculan pembajakan film.
3. Sempat mati suri dan hidup kembali

Krisis film juga sempat terjadi di Indonesia. Sekitar tahun 1991 hingga 1998 produksi film hanya 2-3 karya tiap tahun. Mirisnya lagi, film-film tersebut didominasi dengan tema seks. Kematian industri film Indonesia ini juga dipengaruhi dengan semakin banyaknya televisi swasta dan munculnya teknoloki VCD, LD dan DVD.
Padahal di masa itu lahir UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Undang-undang tersebut mengatur kewajiban izin produksi. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran produksi yang prosesnya bisa dilakukan dengan surat-menyurat.
Kemudian perfilman Indonesia mulai kembali hidup di tahun 1998 hingga sekarang. Beberapa film juga mulai diperhitungkan dan menjadi trend misalnya Petualangan Sherina karya Mira Lesmana dan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) tahun 2002 karya Rudi Soejarwo. Saat ini sineas film Indonesia mulai pilih-pilih film. Hampir tidak ada yang memberikan bumbu seks di filmnya. (*)