Peningkatan Investasi di Sektor Solusi Teknologi Berkelanjutan
Jumat, 22 Desember 2023 -
STUDI terbaru SAP (NYSE: SAP) menunjukkan bahwa rerata 90% bisnis di Indonesia melihat ada hubungan yang moderat hingga kuat antara keberlanjutan dan profitabilitas organisasi mereka. Sementara 91% mencatat adanya hubungan antara keberlanjutan dan daya saing.
Angka tersebut lebih tinggi daripada hasil di seluruh Asia Pasifik dan Jepang (71% daya saing, 68% profitabilitas). Dampaknya mendorong peningkatan investasi. Di Indonesia, 66% perusahaan berniat meningkatkan investasi di bidang keberlanjutan dalam tiga tahun ke depan. Ini mengindikasikan adanya hubungan kuat antara keberlanjutan dan prioritas bisnis.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia menyatakan bahwa kinerja bisnis mereka secara keseluruhan terkait erat dengan penerapan keberlanjutan sebagai prioritas strategis yang menghasilkan peningkatan investasi.
Studi terhadap 250 orang di Indonesia menunjukkan bahwa 93% bisnis di Indonesia melihat strategi keberlanjutan memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan pendapatan atau laba pada tingkat sedang atau kuat.
Baca juga:
Bahkan, 92% responden Indonesia melihat adanya peningkatan moderat atau kuat dalam efisiensi proses bisnis dari kegiatan keberlanjutan.
Lebih dari separuh (55%) perusahaan di Indonesia berharap dapat menunjukkan keuntungan finansial yang positif dari investasi keberlanjutan mereka dalam lima tahun ke depan, daripada dengan 61% responden global.
"Keberlanjutan tidak dapat lagi dianggap terpisah dari kinerja keuangan bisnis yang lebih luas karena semakin jelas bahwa organisasi yang lebih berkelanjutan adalah organisasi yang lebih sukses," kata Gina McNamara, Regional Chief Financial Officer, SAP Asia Pacific and Japan, seperti tersua dalam keterangan pers yang dikirimkan kepada Merahputih.com.
McNamara melanjutkan bahwa sekira 2% bisnis di Indonesia menyatakan keberlanjutan merupakan hal penting bagi hasil bisnis mereka. Sementara 36% lainnya menyatakan bahwa hal tersebut akan menjadi penting dalam lima tahun mendatang.
"Sekarang adalah waktunya untuk menggabungkan pengambilan keputusan keuangan dan lingkungan dalam setiap proses bisnis, jadi kami memperlakukan data karbon sama seperti kami memperlakukan data keuangan," ungkap Gita McNamara.
Meski begitu, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Ada sekira 42% perusahaan di Indonesia menganggap kurangnya strategi dampak lingkungan sebagai penghalang utama dalam mengambil tindakan hijau. Angka ini berada di atas rata-rata dunia yang hanya terhitung 32%.
Masalah penting lainnya adalah ketidakpastian setelah pandemi COVID-19 (40%), keraguan terhadap kemampuan mengukur dampak terhadap lingkungan (34%), dan kurangnya kejelasan tentang bagaimana tindakan potensial akan selaras dengan strategi organisasi (32%).
Mengekstrak nilai dari data keberlanjutan akan menjadi kunci untuk memungkinkan bisnis Indonesia membuktikan laba atas investasi.
Sebanyak 40% perusahaan di Indonesia merasa sangat puas dengan kualitas data keberlanjutan yang mereka kumpulkan, naik 10 poin dari tahun lalu (30%) dan berada di atas angka global sebesar 23%.
Baca juga:
Jelang Halving Day 2024, ini Rekomendasi Taktik Investasi ala Upbit
Meski begitu, perusahaan-perusahaan Indonesia masih tertinggal dari perusahaan lain di dunia. Misalnya dalam hal mengukur polusi air secara langsung (23% di Indonesia vs. 31% di dunia), polusi udara (11% vs. 13%), dan kerusakan alam (18% vs. 22%).
"Jika data keberlanjutan kita tidak lengkap, maka keputusan yang kita ambil untuk meningkatkan kesehatan planet dan bisnis kita akan diragukan," lanjut McNamara.
Ini menjadi sangat penting mengingat bisnis di Indonesia menggunakan data keberlanjutan untuk mengambil keputusan saat ini.
Sembilan dari sepuluh (92%) perusahaan di Indonesia menggunakan data keberlanjutan untuk menginformasikan pengambilan keputusan strategis dan operasional pada tingkat yang cukup kuat. Hanya 1% yang tidak menggunakan data keberlanjutan dalam pengambilan keputusan sama sekali.
Bisnis di Indonesia membuat tuntutan keberlanjutan di seluruh ekosistem mereka. Lebih dari tiga perempat (84%) responden mengatakan bahwa mereka membutuhkan data keberlanjutan dari pemasok mereka dan 82% meminta data dampak lingkungan dari mitra seperti logistik dan pemenuhan pada tingkat yang moderat hingga kuat.
"Manfaat mengintegrasikan data keberlanjutan dan hasil ke dalam bisnis inti sudah jelas," pungkas McNamara. (dru)
Baca juga: