Pencurian Data masih Jadi Ancaman di 2022

Sabtu, 25 Desember 2021 - Raden Yusuf Nayamenggala

MENURUT pakar keamanan siber dari lembaga CISSReC Pratama Persadha, ancaman siber di 2022 tidak akan jauh berbeda seperti di 2021. Ancaman itu berupa pencurian data serta ransomware.

Pratama menjelaskan kejahatan siber seperti halnya pencurian data atau serangan siber sangat sulit untuk dicegah.

Baca Juga:

Data Pelanggan McDonald Diretas, Apa Motifnya?

"Namun, itu semua bisa ditekan dengan pendekatan hukum lewat UU, juga pendekatan SDM dan teknologi," ujar Pratama, seperti dikutip ANTARA.

pencurian data masih akan menjadi tren pada tahun 2022 (Foto: pixabay/fotoart-treu)

Lebih lanjut Pratama menjelaskan UU Perlindungan Data Pribadi menjadi pembahasan pemberitaan selama 2020-2021 lantaran begitu banyak kebocoran data. Di saat yang sama, masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa karena tak ada instrumen yang melindungi.

Pratama menyebutkan, pencurian data masih akan menjadi tren pada 2022. Data dalam jumlah masif kian ditubuhkan banyak pihak, baik untuk kegiatan legal maupun ilegal.

Meski hal itu terjadi secara global, Pratama menjelaskan Indonesia harus serius dalam mengatasi permasalahan tersebut. Hal itu mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia sudah menembus lebih dari 200 juta penduduk.

jumlah serangan yang tercatat hingga Oktober 2021, sudah lebih dari satu miliar (Foto: pixabay/pixelcreatures)

Menurut laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), jumlah serangan yang tercatat hingga Oktober 2021, sudah lebih dari satu miliar. Angka tersebut dua kali lipat lebih banyak ketimbang 2020.

Sementara itu, International Business Machines (IBM) Corporation yang merupakan perusahaan komputer paling terkenal di dunia mencatat ada peningkatan kerugian setiap kebocoran data dari USD 3,86 juta atau sekitar Rp54 miliar pada 2020, menjadi USD 4,24 juta atau sekitar Rp 60 miliar pada 2021.

Adapun kebocoran data pribadi tersebut menyumbang kerugian yang terbesar, yakni sekitar Rp 2,5 juta untuk satu data masyarakat.

Mirisnya, tidak hanya pencurian data, Pratama mengungkapkan ancaman ransomware pun akan terus tumbuh. Serangan itu diperkirakan akan meningkat di industri kritis, ketika membayar penjahat siber terpaksa dilakukan untuk melindungi keamanan dan keselamatan data, agar keberlangsungan perusahaan bisa terjaga.

"Di 2022, prediksi berdasarkan tren global yang ada dengan melihat pola penyerangan dan inovasi teknologi yang terus berubah. Serangan ransomware diproyeksikan bakal meningkat, hingga deepfake juga masalah kerentanan perangkat IoT yang mungkin akan menambah ancaman terhadap keamanan siber," ujar Pratama.

Baca Juga:

Malware dan Peretas Mengancam di Balik Aplikasi Kencan

Ia menyebut saat ini serangan ransomware telah masuk pada perusahana pipa minyak Amerika di awal Mei 2021 lalu, yang merupakan salah satu serangan siber paling masif tahun ini.

Selain itu, operator jaringan BBM terbesar di AS, Colonial Pipeline, juga terpaksa membayar uang tebusan USD 5 juta atau sekitar Rp 70 mliar, setelah terkena serangan siber ransomware yang mencuri hampir 100 gigabyte data.

Pada aksinya, pelaku mengancam akan merilis data ke internet, kecuali uang tebusan yang diminta segera dibayarkan. Serangan tersebut memicu krisis energi sementara, akibat perusahaan menghentikan operasi pipa selama beberapa saat.

Sementara itu, di Indonesia pencurian data juga terjadi, seperti bocornya data institusi pemerintah, dari mulai Polri, BPJS Kesehatan, e-HAC, dan sejumlah peretasan pada situs pemerintah. Hal itu diharapkan dapat ditekan pada tahun mendatang sehingga dapat menciptakan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia.

“Padahal RUU PDP sudah prolegnas pada 2021, tapi hingga saat ini masih belum nampak untuk disahkan. Kendalanya yaitu karena RUU PDP saat ini adalah di Komisi PDP itu sendiri, belum ada kesepakatan antara DPR dan Kominfo," tutupnya. (Ryn)

Baca Juga:

Terdapat 'Celah' Pada Tiktok yang Bisa dimanfaatkan oleh Peretas

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan