Menghitung Hari Baik dan Nahas pada Masyarakat Baduy
Rabu, 28 Juli 2021 -
DI Baduy ada dua alat penting untuk menghitung hari baik dan nahas. Kedua alat ini bernama kolecer dan sastra yang masing-masing berperan meramalkan nasib, termasuk untuk menghindari hari sial.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Elis Suryani Nani Sumarlina menjelaskan,
kolénjér merupakan alat perhitungan yang terbuat dari kayu. Alat tersebut diberi lubang yang tidak tembus, berupa titik dan garis yang membentuk kotak tertentu.
Jumlah titik-titik dan garis-garis dalam satu kotak mempunyai arti dan tafsiran tersendiri. Demikian pula dengan semua tanda yang digoreskannya tertera ukuran hari yang memiliki nilainya masing-masing, begitu juga dengan pasarannya.
Baca juga:
Penggunaan penghitungan kolénjér adalah hari Ahad, bernilai 5, sebutannya (Hadma); Sénén = opat ‘empat’ (Nenpat); Salasa = tilu ‘tiga’ (Salu); Rebo ‘Rabu’ = tujuh (Bojuh); Kemis ‘Kamis’ = dalapan ‘delapan’ (Mispan); Jumaah ‘Jumat’ = genep ‘enam’ (Manep); dan Saptu ‘Sabtu’ = salapan ‘sembilan’ (Tupan).
Pasaran dalam perhitungan kolénjér memiliki nilai. Pahing bernilai dalapan ’delapan’ dengan nama sebutannya Papan; Pon = opat ‘empat’ (Ponpat); Wagé = tujuh (Wajuh); Kaliwon ‘Kliwon’ = salapan ‘sembilan’ (Wonpan); dan Manis = lima (Nisma).
Paduan hitungan nilai hari dan pasarannya dapat diketahui bahwa pekerjaan, maksud, atau keinginan baik tidaknya suatu hajat dilaksanakan.

Menurut kepercayaan masyarakat Baduy, setiap orang memiliki hari nahas atau sialnya masing-masing. Untuk mengetahui “hari sialnya” dapat dilakukan dengan perhitungan nama orang yang bersangkutan.
“Dengan demikian, setiap orang yang bermaksud melaksanakan pekerjaan penting dan besar, seperti pernikahan, berpergian, mendirikan rumah, dan sebagainya selalu harus dicari hari baiknya agar niatnya itu dapat berjalan dengan baik,” tutur Elis Suryani Nani Sumarlina.
Sementara sastra adalah alat perhitungan yang terbuat dari sebilah bambu yang digunakan untuk menentukan sikap dan tindakan berdasarkan sifat yang terdapat dalam diri manusia.
Baca juga:
Pada bagian punggung sastra, yakni hinis ‘sembilu’ diberi garis-garis dengan goresan memanjang, terbagi atas 20 bagian dan setiap bagian itu memiliki garis dengan jumlah yang tidak sama, berkisar antara 1 sampai 9 buah garis.
“Pembagian tersebut mengacu kepada aksara Cacarakan (Hanacaraka) yang digunakan dalam perhitungan berdasarkan urutan aksara tersebut, yakni aksara /ha/ sampai /nga/,” terang Elis.
Urutan pertama dimulai dari ujung pegangan sastra yang dinyatakan dengan garis-garis, dan setiap ruang dibatasi oleh bulatan kecil.
Urutan aksara dan jumlah garis menunjukkan nilai dari aksara Cacarakan dimaksud. Misalnya ha nilainya 4; na = 3; ca = 3, ra = 2; ka = 2; da = 3; ta = 3; sa = 2; wa = 4; la = 5; pa = 2; dha = 5; ja = 3; ya = 8; nya = 9; ma = 1; ga = 7; ba = 5; tha = 6; dan nga = 6.
Siapa pun orangnya dapat dihitung dan dicocokkan waktunya berdasarkan maksud dan keinginannya. Selain itu, dapat juga dihitung hari baik untuk melaksanakan pekerjaannya.

Demikian halnya dengan hari nahas, sehingga orang dapat menghindari tindakan tertentu lewat baik buruknya suatu tindakan yang akan dilakukannya.
Sastra dapat digunakan untuk beragam keperluan, di antaranya menentukan hari baik untuk melaksanakan perkawinan atau hajatan lainnya dengan cara mencari hari nahas. Hal ini dilakukan agar hajatan yang akan berlangsung berjalan dengan selamat dan lancar.
Sastra juga dipakai untuk menentukan kegiatan berhuma atau berladang, utamanya untuk mengetahui kapan kegiatan itu bisa dimulai. Hal ini bertujuan agar bisa menghindari salah tindak dan mengurangi risiko yang mungkin akan timbul akibat salah tindak tersebut, sehingga kapan kegiatan itu dimulai perlu diperhitungkan terlebih dahulu dengan cermat.
“Dasar perhitungannya ialah dengan cara menjumlahkan nilai nama dari suami istri yang bertanggung jawab atas kegiatan itu. Untuk huma sérang ‘ladang suci’, maka nama suami istri Girang Serat ‘dalam hal ini pelaksana upacara’ dihitung dan dijumlahkan. Kemudian jumlah aksara ditambah satu, dikurangi oleh jumlah kedua nama suami istri tersebut, sehingga diperoleh angka yang menunjukkan hari naasna ‘sialnya’,” papar Elis. (Imanha/Jawa Barat)
Baca juga: