Mengenal Tradisi Malam 1 Suro di Indonesia

Selasa, 13 Oktober 2015 - Rendy Nugroho

MerahPutih Peristiwa - Tahun Baru Hijriyah (1 Muharram 1437 Hijriyah) merupakan sebuah Peristiwa hijriyahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah menuju Madinah yg masuk dalam tinta sejarah islam yg sampai kini diperingati sebagai tahun baru Islam.

Seperti dimuat Wikipedia, Muharram berasal dari kata yang artinya 'diharamkan' atau 'dipantang', yaitu dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah. Sementara dalam istilah Jawa, bulan Muharram disebut dengan bulan Suro. Istilah Suro diambil dari ‘Asyura (hari ke sepuluh).

Pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) biasanya tidak diiringi dengan perayaan yang aneh-aneh, apalagi bermuatan syirik kepada Alah, bermuatan kemunkaran dan sebagainya.

Tradisi 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah.

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.

Seperti dirangkum dari berbagai sumber, Peringatan malam 1 Suro jatuh pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat.

Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.

Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Selain itu, yang tak kalah menarik yakni tradisi Pawai Obor. Sejumlah warga melakukan shalawat dengan membawa obor di kawasan Mangun Jaya satu, Tambun selatan, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (13/10) malam. Pawai obor shalawat yang dilaksanakan setiap tahun tersebut dilaksanakan untuk menyambut 1 Muharram 1437 Hijriah dan mempertahankan tradisi kebudayaan turun menurun yang ada di Indonesia.

Baca Juga:

>
  • Berikut Doa yang Dianjurkan Rasul Sebagai Penutup Tahun Hijriyah
  • Tahun Baru Islam, Baznas Yogyakarta Luncurkan ODOT
  • 2 Film Bertema Islam Gagal, Raam Punjabi Ketar-ketir
  • Tokoh Islam Kompak Tolak Visualisasi Nabi Muhammad
  • Masuk Islam, Adik Michael Jackson Makin Religius
  • Bagikan

    Baca Original Artikel
    Bagikan